Pelindung Kyoto Bagian 2

Akhirnya, bagian ke-2 dari cerita Pelindung Kyoto

Shinsengumi. Aku hanya tau nama itu dari anime dan artikel-artikel internet yang aku baca. Shinsengumi adalah pasukan polisi khusus di masa akhir keshogunan di Jepang. Kelompok ini terkenal berasal dari Kyoto, ibu kota lama Jepang. Ciri khas mereka adalah baju yang mencolok, dengan warna biru-putih yang senantiasa mengancam lawan-lawan mereka. Setidaknya, itulah yang aku baca, dan kini, pasukan biru-putih tersebut mengelilingiku. Ah, dan ketika aku melihat ke bawah, bajuku pun seperti baju mereka. Aku… Shinsengumi ?

Dalam kebingungan itu, aku mulai berdiri di atas kakiku, sambil membersihkan bajuku yang kotor terkena tanah karena aku terjatuh tadi. Mereka -yang sepertinya adalah teman satu skuadronku- memastikan sekali lagi apakah aku baik-baik saja, dan apakah masih mampu melanjutkan patroli, aku jawab bisa, karena sepertinya berjalan bukanlah hal yang sulit, dibandingkan menjawab segala kebingungan ini.

Lalu, sambil berjalan, ke-dua orang di depanku saling berbicara. Ada dua orang lagi di belakangku, tapi mereka diam saja, sepertinya mereka sedang berkonsentrasi, kalau-kalau ada sesuatu.

“Oi, Tanabe, katanya kemarin kau dipanggil oleh Kapten Kondou ?”

“ah, iya, kemarin dia menanyakan pedangku, katanya, pedang ini buatannya sangatlah bagus, dia tanya, dapat dari mana ?”

“oh, saya kira dia akan memecatmu karena ilmu pedangmu yang begitu-begitu saja”

“ah, brengsek kau Shimada !”

Aku memperhatikan percakapan mereka berdua. Kondou ? Kondou Isami ? Setahuku, ia adalah komandan utama Shinsengumi, orang hebat. Aku bekerja di bawah orang sehebat dia ? Wow. Namun, yang lebih aneh lagi adalah, fakta bahwa aku fasih berbahasa Jepang. Aku mengerti apa yang Tanabe dan Shimada obrolkan. Ck. Ini aneh sekali. Apa ada hubungannya dengan kakek-kakek tadi ? Atau aku cuma mimpi ?. Aku coba cubit pipiku, tidak berpengaruh. Aku tetap bangun. Kembali aku coba mencubit tanganku, “auwww”, hanya sakit saja, aku tidak bangun tidur. Apa maksudnya ini ?

Shimada menoleh ke belakang dan bertanya kepadaku, sepertinya ia agak terusik dengan teriakan “auww” ku tadi.

“Oi bocah, kenapa ? menginjak batu tajam ?”

“emm, ah tidak, emm, Shimada-san, aku hanya sedikit terantuk batu saja”

“ah, terantuk batu saja sampai begitu, bagaimana jika tertebas pedang lawan ?”

“ah, maaf..”

Bocah ? Aku bocah ? Entahlah. Situasinya sangat aneh. Tertebas pedang lawan ? memangnya apa yang saat ini aku hadapi ? Ah, banyak sekali pertanyaan di kepalaku. Ya sudahlah, mungkin selama aku bersama-sama mereka, kalau bertemu musuh pun aku aman. Aku lalu melihat ke pinggangku. Ada pedang tergantung di situ. Entah pedang apa ini. Pedangnya mirip dengan pedang-pedang yang aku lihat di film tentang Samurai. Dengan segala kebingungan dan ke-nyata-an ini, seperti ini pedang asli. Seandainya ini ke-nyata-an, maka aku bukannya tidak mungkin aku harus menggunakan pedang ini. Seandainya harus bertarung, hmmh.. yah, mungkin kegiatanku di komunitas Lightsaber Star Wars akan sedikit banyak membantu.  

Aku meneruskan patroli. Hmm. Dingin sekali. Ini bulan apa ya ? Di duniaku ‘sebelumnya’ sedang musim hujan. Mungkin Desember. Apakah sama ? Ah entahlah, masih banyak yang harus dipikirkan. Terutama, tentang mengapa aku ada di sini. Ah. Lalu Tanabe yang tadi mengobrol dengan Shimada-san, tiba-tiba bertanya padaku sambil menoleh ke belakang.

“hey, Kawada, kamu anak baru kan ? Seperti apa gaya berpedangmu ? aliran apa ?”

Kawada ? Itu namaku di sini kah ? Mungkin, karena Shimada tadi memanggilku bocah. Mungkin ceritanya aku memang anak baru di sini. Aliran pedang ya ? Rrr, aku tidak hafal aliran pedang yang sedang terkenal di masa ini. Tapi aku hafal ke-8 Jedi fighting stance. Aku jawab salah satu dari itu sajalah, bilang saja aliran baru.

“emm, namanya Makashi-ryuu (aliran Makashi)”

“eeh ? nama yang aneh, saya tidak pernah dengar, dari mana itu ?”

“ah, itu dari kampung halaman saya”

“oh, memangnya kau berasal dari mana ?”

Ah gila ini, aku tidak bisa menjawab banyak, aku tidak tahu situasi di sekitar Kyoto di masa itu. Berbahaya sekali jika aku dicurigai sebagai mata-mata dan disuruh Seppuku. Kekhawatiranku tidak terjadi. Aku mengelak dengan menjawab di ‘desa dekat Kyoto’, sepertinya Tanabe tidak terlalu peduli. Aku selamat kali ini.

Skuadron ini terus berjalan, ketika Tanabe dan Shimada sedang berjalan sambil mengobrol dengan ringan, tiba-tiba terdengar suara gemeresek kaki yang bergesekan dengan tanah. Ah, musuhkah ?

Dengan tiba-tiba, Shimada berteriak dengan lantang

“HEY ! KELUARLAH KALIAN KLAN MORI BRENGSEK !”

Mori ? Dari artikel yang aku baca dulu, Mori adalah salah satu klan yang merupakan musuh besar Shinsengumi. Berarti… Musuh ? AKu harus bertarung ? Sekarang ?. Tepat setelah Shimada berteriak, muncul lah 5 sosok berkimono yang menenteng pedang. Benar. Ternyata musuh. Kenapa aku tau mereka musuh ? Karena mereka berteriak

“MATILAH KALIAN SEMUA ANJING PEMERINTAH !”

Tanpa aba-aba, mereka berlima langsung mengambil posisi menyerang. Suara khas dari pedang yang bergesekan dengan sarungnya pun bermunculan. Begitu juga dengan skuadron ini. Shimada, Tanabe dan 2 orang di belakangku dengan sigap mencabut pedang mereka. Aku juga begitu. Dengan percaya diri, aku mencabut pedang dari sarungnya. Ternyata tidak seberat yang aku kira. Lightsaber Dooku milikku masih jauh lebih berat. Bukan saatnya untuk memikirkan itu. Aku harus memikirkan bagaimana cara  menghadapi situasi ini. Karena kedua kelompok sama-sama berlima, berarti ini akan menjadi pertarungan satu lawan satu. Aku harus bertarung juga. Gawat.

Shimada yang berbadan besar ‘memilih’ lawan yang berbadan besar juga. Tanabe yang berbadan kecil, mengambil lawan yang tinggi menjulang. Kedua samurai yang tadi ada di belakangku, memilih 2 orang dari mereka juga, berbadan sedang. Sedangkan aku ? Aku sepertinya harus berhadapan dengan yang berotot di depanku. Badannya cukup besar, dari mana aku tahu dia berotot ? Karena si bedebah ini hanya menggunakan sejenis rompii dari bulu babi hutan, yang membuat otot tangan dan perutnya terlihat dengan jelas. INI CUACA DINGIN. DIA NYARIS TELANJANG, dan AKU HARUS BERHADAPAN DENGANNYA. SIAL. Menilai dari cara berpakaiannya di udara dingin, jelas sekali bedebah berwajah dungu itu adalah orang yang bangga sekali akan kekuatannya. Baiklah, sepertinya aku harus serius dengan Makashi-ku.

Makashi adalah sebuah stance pertarungan Lightsaber yang mengandalkan kecepatan dalam duel satu lawan satu. Cocok untuk digunakan dalam situasi ini. Ketika yang lain mengangkat pedangnya ke depan wajah masing-masing, aku malah mengarahkan pedangku ke tanah. Ini adalah langkah pertama stance Makashi, yang cenderung menjaga jarak dengan lawan. Lawanku berteriak.

“JANGAN BERCANDA BOCAH !!”

Ternyata gerakannya tidak terlalu cepat. Aku bisa menghindar dengan sangat mudah. Pedangnya si bodoh itu menghantam tanah. Dalam. Ternyata benar, dia memang kuat. Ini berarti, dengan pedangku yang ringan ini, aku tidak bisa menerima serangannya. Aku harus terus menghindar. Baiklah. Aku lalu mencoba mengayunkan pedangku dengan satu tangan. Dalam sekejap, pedangku merobek tangan kiri si lawanku ini. Wah tajam juga. Dan rasanya tidak jauh berbeda dengan Lightsaber di komunitasku.

Lawanku sepertinya marah, ia tidak terima bahwa ia berhasil dilukai dengan serangan satu tangan. Ia kembali menyerang, kali ini dengan tebasan horizontal. Entah kenapa tiba-tiba aku dapat menghindar dengan menunduk sambil menekuk lutut untuk bersiap loncat dan menyerang balik. Ternyata sempurna, aku berhasil menebas tangan kirinya dengan cukup mendalam. Darah mengucur deras. Tetapi sepertinya ia belum mau menyerah. Ia memindahkan pedangnya ke tangan kanan, dan mulai menyerang dengan membabi-buta. Wah ini bahaya.

Serangan yang membabi-buta itu sulit sekali untuk dihindarkan. Aku kena ! Lengan kiriku tergores oleh pedang si brengsek ini. Sakit sih. Tapi tidak cukup sakit untuk membuatku bangun dari apapun ini, mimpi atau bagaimana. Kalau sudah begini, aku harus membunuhnya. Baiklah. Aku menunggu momentum yang tepat untuk menghantarkan serangan terakhirku. Aku teringat sebuah adegan di komik Kung Fu Boy, di mana Guru Yosen mengajari Chinmi bahwa dalam sebuah pertarungan, serangan satu kali mati adalah serangan yang paling penting dan mematikan. Aku terus menunggu untuk momen itu.

Hingga akhirnya momen itu tiba. Musuhku mengayunkan pedangnya secara vertikal. Kencang sekali. Aku berhasil menghindar, dan pedangnya tertancap di bangku kayu di depan toko tempat kami bertarung. Ia tak bisa mencabutnya. Inilah momenku. Lalu..

“HEAAAHHHHH !!!”

Dalam satu ayunan, pedangku menembus leher si bedebah ini. Darah segar yang hangat berhamburan. Ah. Pedangku merah berlumuran darah. Begitu juga dengan tangan kananku. Ternyata, begini ya rasa darah segar itu ? Hangat, mengalir. Hampir seperti air hangat ketika mandi di shower, namun lebih kental, dan berbau aneh. Begini ya rasanya membunuh ? Wah, ternyata… Aku tidak bisa mengungkapkan perasaanku dengan kata-kata. Ini terlalu menarik. Aku hanya bisa tersenyum dan hanyut dalam perasaan ini.

Lawanku ini lalu terjatuh dan mengeluarkan suara seperti sapi yang baru saja digorok lehernya.

“GRRKKKK… GRRKKK…”

Ia terkejang-kejang. Lalu diam. Mati. Aku tersenyum. Lalu tertawa. Sementara masih ada bunyi gemerencingan pedang di tempat lain. Kawan-kawanku, Tanabe, Shimada, dan dua orang lainnya. Masih bertarung. Ada juga suara teriakan yang diikuti oleh benda berat yang jatuh ke tanah. Sepertinya ada yang tewas lagi. Tiba-tiba saja mataku gelap. Kakiku lemas, dan aku terjatuh ke tanah. Ah, apa lagi ini ?.

Tiba-tiba saja terdengar bunyi KRIINGGGG yang familiar dan menyebalkan. Ah, wakerku berbunyi. Waker ? Shinsengumi bangun tidur pakai waker ?. Ah bukan, ini apartemenku ! Keadaannya masih sama dengan sebelum aku menjadi Shinsengumi tadi. Berantakan. Buku O Amuk Kapak pun masih ada di situ. RRHHH.. yang terjadi sebenarnya ?

-BERSAMBUNG-

Leave a comment