Keberuntungan, Keberuntungan, Keberuntungan, Buntung

Tulisan ini saya buat untuk mengikuti #TantanganKreatif dari @PanditFootball yang secara luar biasa menantang followers twitternya untuk menulis tentang QNB Indonesia dengan gaya 1Q84 dari Murakami. Kebetulan saya adalah fans dari Haruki Murakami. Dan Kebetulan juga saya suka sepak bola. Dan kebetulan juga saya suka menulis. Dan sekali lagi, kebetulan juga sedang ada waktu kosong. Jadi saya memutuskan untuk menulis cerpen ini. Saya beri judul Keberuntungan, Keberuntungan, Keberuntungan, Buntung.

***

Keberuntungan, Keberuntungan, Keberuntungan, Buntung

Bandung, April 2015.

Di dalam ruang ganti stadion Si Jalak Harupat, dari sepasang headphone yang menyambung ke music player miliknya, pemain bernomor punggung #9 itu mendengarkan sebuah lagu lama. Lagu berjudul The Game dari sebuah band cadas Inggris; Motorhead. Ia mendengarkan lagu itu sambil memejamkan mata dan membayangkan apa yang kiranya akan ia lakukan di pertandingan nanti. Sebuah pertandingan resmi Liga Indonesia, Bandung Tigers melawan Medan Eagles. Sebuah pertandingan besar penuh gengsi. Keduanya memang sudah lama tidak bertemu karena Eagles sudah lama berada di Divisi Utama Liga Indonesia, satu divisi di bawah Indonesian Super League di mana Tigers sudah bermain selama belasan musim. Namun, biarpun demikian, sebuah kejadian di masa lalu, pada tahun 1985, keduanya bertemu di final Liga Perserikatan. Sebuah pertandingan liga amatir di mana jumlah penontonnya menjadi rekor dunia di masa itu. Tigers kalah dalam adu penalti. Namun katanya, itu kalah terhormat. Sejarah mencatat demikian. Sejarah memang ditentukan oleh pemenang, tapi kali ini, mereka yang kalah pun dicatat dengan baik oleh sejarah. Sejarah yang baik yang patut dipelihara.

Nama pemain nomor #9 ini Rendy. Posisinya penyerang. Penyerang tunggal. Banyak yang bilang ia adalah Filippo Inzaghi-nya Indonesia. Ia memang bukan pelari yang cepat seperti Suhardi, pemain sayap nomor #22, bukan juga seseorang yang memiliki visi dan umpan yang akurat seperti sang kapten, Velix Limpo yang menyandang nomor punggung #15, atau tinggi badan yang menjulang, seperti Janacek, pemain bertahan asing dengan nomor punggung #3. Tugasnya juga tidak banyak, tidak seperti Abdoul Karim Jaber, dinamo tim Tigers bernomor punggung #10 yang selain harus aktif bertahan di setengah lapangan, mendobrak pertahanan lawan dengan fisiknya yang luar biasa kekar, juga mencetak angka dengan tendangannya yang bagaikan geledek. Tak seperti itu, tugas Rendy hanya satu, satu, tetapi amatlah penting; mencetak gol.

Mencetak gol, memasukkan bola ke dalam gawang lawan. Bagaimanapun caranya, membuat bola lewat melewati garis gawang. Banyak yang bilang ini adalah inti dari permainan sepak bola. Mencetak gol ke gawang lawan. Karena dengan perbedaan gol –mereka yang mencetak gol lebih banyak, pemenang dapat ditentukan. Logikanya demikian. Tetapi, seorang jenius dari Belanda, Dewa Sepak Bola di sana, Johan Cruyff pernah berujar: “Saya bukan orang yang relijius. Di Spanyol, 22 pemain yang akan bertanding membuat tanda salib sebelum mereka masuk ke lapangan. Jika itu memang berhasil, maka semua pertandingan akan berakhir dengan hasil seri.” Banyak yang menafsirkan kutipan itu sebagai sebuah pernyataan ateistik dari Cruyff, namun bagi Rendy beberapa tahun yang lalu, ketika masih berada di tim junior Tigers dan belum pernah bermain dalam pertandingan resmi, ia memaknai kutipan tersebut dengan cara lain; baginya, sepak bola bukanlah tentang mencetak angka, tetapi tentang bagaimana agar tidak kemasukkan. “Betul kan Pak ? Kalau Cruyff bilang begitu, berarti dalam sebuah pertandingan sempurna, tidak kemasukkan lebih penting daripada mencetak angka ?” begitu sanggahannya terhadap pelatih mudanya dulu, Coach Marcos dari Brazil. Coach Marcos hanya menjawab seperti ini “Kamu merasa sudah sehebat Cruyff ? Bagus, pertahankan itu. Tapi cobalah nanti dengarkan mereka yang meneriakkan namamu di lapangan. Namamu akan keras terucap ketika kamu berhasil memasukkan bola ke gawang lawan.” Katanya dalam Bahasa Indonesia bercampur logat Amerika Latin yang khas.

Coach Marcos benar. Di pertandingan debutnya, Rendy menciptakan sebuah gol. Bukan gol yang spektakuler memang. Banyak yang bilang itu gol untung-untungan, prosesnya memang aneh. Sama dengan gol Filippo Inzaghi di Final Liga Champions 2007 ketika mereka berhadapan dengan Liverpool. Sebuah pantulan tak sengaja dengan bokong. Bedanya, gol Rendy berawal dari umpan silang tarik dari kawannya, Seno, yang ia coba kontrol dengan kaki kanan sambil berlari. Namun ‘sialnya’, bolanya malah memantul ke wajahnya dan langsung masuk ke gawang tim junior Jakarta Puppies waktu itu. Biarpun demikian, teriakan penonton yang hadir di pertandingan itu, walau hanya sedikit –karena pertandingan junior, cukup menggerakkan hati Rendy untuk mengubah cara pandangnya terhadap kutipan dari Cruyff. Bukan hanya merubah, tetapi melupakannya –dari sisi cara bermain sempurna, bukan dari ateismenya.

Teriakan Lemmy dari Motorhead memekik di telinga Rendy. “Time to play the game !” begitu katanya. Lagu ini biasa digunakan oleh seorang pegulat profesional, HHH ketika ia akan bertanding. Bagi Rendy, ini adalah lagu yang sangat pantas didengarkan sebelum bertanding. Lagu ini memompa semangat bertarungnya. Tak seperti biasanya, ia memiliki target khusus hari ini. Jika dalam pertandingan-pertandingan sebelumnya ia memiliki target: 2 pertandingan 1 gol –dalam setiap 2 pertandingan, setidaknya ia mencetak 1 gol, kali ini istimewa, targetnya: mencetak hat trick. Ia ingin mencetak hat trick untuk membungkam kritik terhadap dirinya yang dianggap tidak pantas memimpin lini depan Tigers karena terlalu banyak mengandalkan keberuntungan.

Sebenarnya raihan golnya tidak jelek-jelek amat. 7 gol dari 13 pertandingan resminya bersama Tigers. Pada musim 2014/2015, ketika Tigers menjadi juara, Rendy memang jarang dimainkan. Ia hanya bermain di paruh akhir musim –setelah dipromosikan ke tim inti, sebanyak 10 kali, kebanyakan sebagai cadangan. Dari 10 pertandingan itu, ia mencetak 5 gol. Bukan gol penting, tetapi gol ketika Tigers sudah unggul jauh, minimal dengan selisih 2 angka. Ketika berada di atas angin seperti itu, pelatih kepala Tigers, ‘King’ Asep Ridwan, selalu memasukkan pemain muda agar mereka mendapatkan jam terbang. Dalam 10 kesempatan itu, Rendy memenuhi targetnya dengan sempurna, 1 gol tiap 2 pertandingan. Sedangkan sisa 3 pertandingan ia dapatkan di musim ini, musim 2015/2016, ketika ia mencetak masing-masing 1 gol saat berhadapan dengan Surabaya Crocs dan Malang Lions. Keduanya gol penting penuh keberuntungan –begitu kata media-media.

Inilah yang tidak ia sukai. Keberuntungan. Dalam keberuntungan, ada sedikit bantuan tak terlihat dari sosok tak terlihat. Rendy tidak suka itu. Ia percaya dengan kemampuannya sendiri. Seperti Johan Cruyff tadi. Ia ingin membuktikan, bahwa itu bukan keberuntungan, tetapi memang dari bagian kemampuan yang ia miliki. Yang ia dapat dari seseorang yang tidak ia percaya; Tuhan. Ia ingin membuktikan bahwa kemampuannya dalam memposisikan diri ketika menyambut bola adalah sesuatu yang memang ia rencanakan, bukan sesuatu yang kebetulan. Oleh karena itu, ia membuat target hat trick, agar semua orang dapat melihat bahwa gol-gol yang ia ciptakan bukanlah suatu kebetulan, ia ingin membuktikannya. Ia membuka target ini kepada seorang wartawan sepak bola yang ia percaya, Litotes Sudirman. Kepada Lito –panggilan Litotes Sudirman, sebelum pertandingan, ia berujar

“Mas Lito, tolong rekam saya.”

“rekam bagaimana Kang Rendy ?” tanya Lito bingung.

“saya mau Mas Lito simpan video yang nanti mas rekam, untuk mas putar setelah pertandingan. Boleh ?” jawabnya.

“baiklah Kang, saya rekam sekarang.” Kata Lito sambil mengeluarkan telepon genggamnya.

“Saya Rendy Setiawan, berjanji akan mencetak 3 gol hari ini.” Ujarnya sambil menunjuk wajahnya sendiri dengan ibu jarinya.

Lito agak terkaget, sambil mematikan rekamannya, ia bertanya kepada Rendy

“Kang, nggak apa-apa nih ? Gimana kalau nggak bisa ? Nggak usah saya sebar ya ?”

“Berhasil atau tidak, sebar saja. Saya yakin pasti bisa. Ini untuk membuktikan kalau gol saya selama ini bukan omong kosong, bukan keberuntungan. Saya ingin kasih lihat semua orang kalau saya mencetak gol dengan kemampuan saya sendiri !” Jawab Rendy mantap.

“Baik Kang kalau begitu, terima kasih sudah mempercayai saya. Saya akan pegang kata-kata akang. Sebagai wartawan sepak bola saya nggak boleh bilang seperti ini, karena mungkin nantinya saya jadi bias, tapi entah kenapa, saya ingin akang berhasil hari ini. Sukses Kang !” ujar Lito sambil menyalami Rendy. Inilah yang membuat Rendy mempercayai Lito. Ia berbeda dengan wartawan pada umumnya. Ia tidak menjual –membesar-besarkan berita, untuk kepentingannya sendiri. Lito adalah wartawan olah raga yang paling subjektif yang Rendy kenal. Ia melihat A, maka ia akan menulis A. Tanpa lebih dan kurang suatu apapun.

Ketika lagu The Game sudah usai, Rendy melepas headphone-nya. Ia merapihkan kabelnya, meletakkannya ke dalam handbag, lalu mulai memejamkan mata untuk berkonsentrasi. Ia mengingat sebuah hat trick dalam pertandingan Arsenal melawan Leicester City pada tahun 1997. Pada pertandingan itu, Dennis Bergkamp –patron sepak bola Rendy, mencetak 3 gol indah. Sebuah tendangan placing dari luar kotak penalti, sebuah tendangan volley yang di-lob ke atas kiper, dan curling shot setelah dua kali kontrol yang luar biasa. Semua gol itu adalah teknik khas Bergkamp. Rendy ingin menciptakan hal yang serupa. Ia ingin seperti Bergkamp. Membuat hat trick sempurna dengan caranya sendiri, karena konon, hat trick sempurna diciptakan melalui trigol yang didapat dengan menggunakan kaki kanan, kaki kiri, dan kepala. Seperti yang dilakukan oleh rekan senegara Bergkamp, Jimmy Floyd Hasselbaink ketika membela Chelsea dalam sebuah pertandingan melawan Tottenham di tahun 2002. Rendy ingin mengukir namanya di sebelah tulisan “hat-trick sempurna” dalam tajuk utama koran olah raga, walaupun cara mendapatkannya bukan dengan kaki kiri, kaki kanan, dan kepala, tetapi dengan gayanya sendiri, gaya yang mereka bilang “keberuntungan.” Sesuatu yang tidak biasa, di luar kebiasaan.

Pelaksana pertandingan mulai memanggil kedua tim yang akan berlaga. Semua pemain di ruang tunggu mulai beranjak dari tempat duduknya. Para pemain cadangan masuk ke pinggir lapangan terlebih dahulu, duduk di sisi lapangan di atas kursi yang beratapkan kanopi dari fiberglass. Rendy yang masuk di Starting XI, berada di barisan paling belakangan pemain Tigers. Dengan dipimpin wasit Utoyo di paling depan, kedua barisan tim mulai beranjak ke dalam lapangan diiringi lagu FIFA Anthem yang memang menjadi lagu wajib tiap pertandingan sepak bola resmi.

Di layar televisi, beginilah formasi 4-2-3-1 Tigers;

Penjaga Gawang: I Ketut Sindhu (#78)

Pemain Belakang: Suhardi (#22), Tommy Agustinus (#16), Lois Janacek (#3), Juniansyah (#2)

Pemain Tengah: Velix Limpo (#15, c), Hudaya (#24), Abdoul Kadir Jaber (#10), Hilman Rosyid (#23), Rudiman (#7)

Pemain Depan: Rendy Setiawan (#9)

Rendy memang selalu diplot menjadi penyerang tunggal. Karena memang itu satu-satunya posisi di mana ia bisa bermain dengan sebaik-baiknya, dan memang skema Coach Ridwan adalah 4-2-3-1, sebuah formasi di mana ketika sebuah tim memiliki gelandang-gelandang dengan gaya yang bervariasi, akan mampu mengendalikan permainan dengan sangat baik. Seperti Tigers.

Kedua kapten tim dipanggil oleh wasit Utoyo ke tengah lapangan, lalu berjabat tangan dan menebak hasil lemparan koin. Hasilnya, Tigers dapat bola dan Eagles memilih sisi lapangan. Eagles memilih sisi Utara terlebih dahulu, karena di tribun Utara memang banyak pendukung Eagles. Gaya permainan Eagles adalah permainan keras dengan sedikit gol. Ketika mereka berhasil mencuri gol cepat, maka mereka akan bertahan dengan gaya parkir bus hingga akhir pertandingan. Gaya permainan mereka yang keras dapat membuat takut pemain-pemain lawan sehingga mereka malas menyerang dengan tempo tinggi. Sebuah strategi yang cocok dengan tim yang mengandalkan fisik seperti Eagles.

Bola disimpan di tengah lapangan oleh wasit dan pertandingan akan segera dimulai. Rendy-pun memulai ritualnya. Mengajak bicara bola untuk memintanya memberi tahu arah datangnya. Jika ia bisa tepat waktu menyambarnya, maka ia akan dapat gol.

“hei, bisa minta tolong kasih tau dari mana kamu akan datang nanti di depan gawang ? Kalau bisa, nanti tolong kasih tahu teman-teman kamu yang lain juga ya, siapa tahu kamu keluar lapangan dan diganti dengan bola lain.” Kata Rendy kepada bola yang menjadi bola kick off.

“Baik Bos Rendy !” jawab si bola tegas.

Permainan pun dimulai, Rendy mengoper bola kepada Jaber. Jaber lalu mengoper pendek ke belakang ke kapten Limpo. Seketika, pemain sayap kanan Tigers, Suhardi dan Hilman Rosyid mulai bergerak ke depan, membuka ruang serang dari kanan, Rendy mencari posisi di depan di tengah lapangan, tepat di depan Jaber. Di sisi kiri, Tommy Agustinus menunggu di posnya di belakang sambil sedikit bergeser ke kanan, untuk membagi ruang dengan Janacek dan Juniansyah menjaga garis belakang, menutupi lubang yang ditinggalkan Suhardi ke depan. Tigers menyerang dengan sangat cepat, dan baru saja pertandingan berjalan 1 menit, tendangan dari Hilman Rosyid sudah membentur gawang Eagles yang dijaga oleh Christian Lemonek, kiper impor asal Latvia.

Bek sekaligus kapten Eagles, Johnson –asli anak Medan, memulai serangan balik cepat Eagles dengan sebuah umpan jauh yang luar biasa akurat. Langsung menusuk sisi kiri pertahanan Tigers yang sedang ditinggal oleh Suhardi. Park Gwang-Seok, mantan pemain nasional Korea Selatan –dengan 1 cap saja, berlari kencang di sisi kiri, melewati Janacek yang terjatuh setelah sedikit diberi body feint oleh Park. Ia lalu mengumpan dengan umpan datar ke kaki Jamhar, penyerang veteran Eagles yang berusia 35 tahun, namun masih memiliki insting penyerang dan memiliki tendangang yang sangat keras. Jamhar menendang, namun tendangannya masih bisa dihalau oleh Ketut Sindhu. Tendangan penjuru untuk Eagles.

Pertandingan berjalan terus seperti ini hingga menit ke-20. Rendy belum juga mendapatkan kesempatan yang ia tunggu. Serangan Tigers seringkali putus di tengah-tengah. Pemain bertahan Eagles memang jago membaca serangan lawan. Serangan balik mereka juga berbahaya, namun sepertinya Jamhar memang sedang tidak dalam performa terbaiknya. Ia tidak juga bisa mencetak angka. Rendy sampai berpikir “sepertinya kalau saya main di Eagles, sekarang skornya sudah 5-0.” Namun, dalam sebuah serangan yang terancang dengan baik, melalui serangan dari sisi kanan, Rudiman berhasil melewati pemain bertahan di sisi kiri pertahanan Eagles. Di sinilah Rendy tiba-tiba mendengar si bola berteriak “Pak Rendy, mundur satu langkah Pak, curve ball ini !”, Rendy lalu mengambil satu langkah ke belakang, membuat bingung pemain bertahan Eagles, Johnson, bingung, karena jelas-jelas bolanya mengarah ke tengah, Johnson lalu melompat untuk menghadang bola, namun ternyata bola malah berbelok ke arah Rendy yang sudah mengambil satu langkah ke belakang. Lompatan Johnson ternyata malah menghalangi Lemonek yang sudah out of position. Bola memantul ke dada Rendy, lalu masuk ke dalam gawang Eagles. 1-0 untuk Bandung Tigers. Rendy berlari ke tiang penjuru sambil menggoyang-goyangkan bendera itu dan berteriak “AING YEUH !! AING !!!” Ia lalu terjatuh dipeluk oleh rekan setimnya. Ketika teman setimnya bersujud untuk merayakan gol darinya, ia hanya mengangkat tangannya untuk bertepuk tangan.

Pertandingan berlanjut. Skemanya masih sama, saling serang dan mengancam, dan seperti biasa, Rendy tidak kunjung mendapatkan bola. Alasannya sederhana, tugasnya hanya mencetak gol. Menunggu bola saja. Temannya tidak mau mempercayakan bola kepadanya, karena dribelnya tidak bagus-bagus amat. Umpannya apalagi. Ia hanya bisa mencetak angka dengan begitu saja. Dengan keberuntungan. Bukan, sebenarnya bukan keberuntungan. Rendy bisa mendengar dan berbicara dengan bola. Ia bisa mendengar nafas bola. Ia tahu ke mana bola akan pergi. Tapi ia tidak pernah mengatakan hal ini kepada siapapun. Ini rahasia penting baginya. Entah rahasia penting, atau takut dibilang gila. Yang pasti, ia tidak mau ketahuan oleh siapapun.

Beberapa kali Eagles kembali mengancam Tigers, namun semua bisa dimentahkan baik oleh Sindhu ataupun tiang gawang. Serangan Tigers juga begitu, entah kena tiang gawang, tubuh Johnson, atau tertangkap oleh Lemonek. Dalam sebuah pergumulan, bola keluar lapangan. Rendy mengambil kesempatan ini untuk menyampaikan niatnya kepada bola bahwa ia akan mencetak 2 gol lagi.

“hei, saya mau golin 2 lagi boleh ya ?”

“wah Pak Rendy, yakin Pak ? Biasanya bapak kan hanya mencetak 1 gol dalam tiap pertandingannya. Ini benar Bapak mau cetak 2 lagi ? Di luar kebiasaan loh Pak ?”

“iya benar, tolong ya”

“Pak Rendy siap dengan resikonya ?”

“apapun. Bantu saya ya ?”

“OYY REN ! CEPETAN !” Teriak Limpo dari dalam lapangan.

“baik, saya bantu Pak Rendy, tapi Pak Rendy harus siap dengan segala resikonya” kata si bola

“sudahlah, ayo !”

Rendy lalu melempar bola ke kaki Limpo, dan ia mulai lari ke depan. Tak lama, Limpo melakukan change side dengan mengumpan bola jauh ke arah Suhardi di sisi kanan lapangan, Suhardi lalu melakukan umpan satu-dua dengan Hudaya, yang langsung diteruskan dengan sebuah umpan silang mendatar ke arah rendy. Si bola kembali berteriak “PAK RENDY, TAHAN KAKI KIRINYA ! JANGAN BERGERAK” Rendy terdiam, tidak menyambut bola. Ternyata, bola itu mengenai undakan rumput, dan dengan cukup kencang bergerak ke arah kaki kiri Rendy yang terdiam. Lemonek yang tadinya mau menangkap bola dengan menjatuhkan badan, malah tertipu dan terjatuh sehingga tidak bisa menghalau laju bola dari Rendy. Gol kedua. Rendy mengangkat dua jarinya ke udara, lalu menunjuk ke arah tribun wartawan di mana Lito ikut menonton. Lito tahu arti tunjukkan itu. Lito tahu Rendy akan mencetak satu angka lagi, dan video Rendy yang ia rekam akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Bisa jadi ini menjadi titik awal menaiknya karir Rendy yang masih berumur 19 tahun.

Pertandingan terus berlanjut. Temponya kali ini agak menurun. Intensitas serangan mulai berkurang. Pertandingan menjadi agak membosankan karena Eagles tidak bisa menyerang apabila Tigers tidak menyerang, terlalu mengandalkan serangan balik. Tigers jadi banyak memainkan bola di daerah sendiri. Sayap-saPertandingan menjadi agak membosankan karena Eagles tidak bisa menyerang apabila Tigers tidak menyerang, terlalu mengandalkan serangan balik. Tigers jadi banyak memainkan bola di daerah sendiri. Sayap-sayap belakang mereka yang biasanya rajin membantu penyerangan, sekarang malah banyak beroperasi di daerah sendiri. Kebosanan ini terus berlanjut hingga peluit babak pertama usai.

Menuju ruang ganti, Lemonek dan Johnson mendekati Rendy dan berkata “Gol kau dua-duanya hoki belaka, tak percaya aku itu kemampuan kau, mati kau nanti di babak kedua !” Rendy hanya menatap mereka sambil mengacungkan dua jari tangan kanannya, sembari mengacungkan jari telunjuk kirinya. Menabrakkan kedua tangannya sehingga ia memiliki 3 jari terangkat di tangan kanannya. Gestur yang aneh, tapi yang pasti, ia sedang mengisyaratkan bahwa ia akan mencetak 1 gol lagi di babak kedua nanti.

1 gol lagi dan misinya terpenuhi. Rendy senang. Namun ia terpikir akan resiko yang bola katakan kepadanya. Apa ada hubungannya dengan apa yang ia lakukan ini ? Apa ada hubungannya dengan kemampuannya untuk berbicara dengan bola ? Ah sudahlah, yang penting cetak angka dulu. Begitu pikirnya. Teman-temannya menyelamati Rendy di ruang ganti. Mereka tidak peduli dengan bagaimana cara Reny mencetak angka. Yang penting mereka menang. Tigers menang, semua senang. Begitu prinsipnya. Suasana ruang ganti tidak lagi tegang. Ada yang mandi –Janacek, ia selalu mandi, karena menurutnya iklim Indonesia sangatlah panas, dan ia tidak kuat. Ada yang makan –Juniansyah dan Tommy Agustinus, mereka selalu lapar. Ada yang berdoa, membaca kitab suci dengan khusyuk, Suhardi dan Hilman Rosyid, keduanya sosok paling agamis di tim. Ada juga yang membahas strategi, ini dilakukan para pemain tengah; Velix Limpo, Hudaya, Jaber, dan Rudiman. Sedangkan I Ketut Sindhu membersihkan sarung tangannya. Sarung tangan kesayangan yang ia kenakan ketika ia berhasil menghentikan dengan penalti penentu dalam adu penalti melawan Jayapura Black Stars dalam final Liga Super Indonesia satu tahun sebelumnya, adu penalti yang menentukan kemenangan Tigers ketika mereka menjadi juara setelah sekian lama puasa gelar.

Rendy sendiri memperhatikan skema yang digambar oleh Velix Limpo di papan tulis ruang ganti. Sedangkan coach Ridwan diam memperhatikan skema yang digambar oleh Limpo. Ia yakin pada skema Limpo, karena Limpo yang sudah berumur 33 tahun akan segera pensiun dan menggantikannya. Baginya, peran Limpo di lapangan bukan hanya sebagai kapten, tetapi juga sebagai pelatih. Semua ilmunya sudah ia turunkan kepada Limpo. Ia siap pensiun dengan mantap.

Pelaksana pertandingan kembali memanggil kedua tim. Keduanya mulai memasuki lapangan. Di lorong, Rendy kembali berpapasan dengan Lemonek dan Johnson, Lemonek menatapnya dingin dan Johnson mengangkat jari telunjuknya, menelusuri lehernya dengan jari itu, sambil menjulurkan lidahnya. Gestur menyembelih. Sebuah tantangan. Rendy hanya menatapnya cuek, dan memberi jari telunjuk kiri. Hanya mengingatkan bahwa ia akan mencetak 1 gol lagi. Ia yakin ia bisa. Bola bersamanya. Bola baginya lebih dari sekedar teman. Bola baginya adalah sebuah entitas yang akan membantunya meraih sukses. Ia bisa membayangkan, setelah hat trick pada hari ini, ia akan memiliki nama yang lebih baik lagi di media. Ia akan dipanggil masuk ke tim nasional Indonesia, dan mampu berunjuk gigi di kancah internasional. Impian semua pemain sepak bola. Hanya satu yang mengganjalnya “Pak Rendy siap dengan resikonya ?” kata-kata si bola tadi.

Pertandingan kembali dimulai. Masih hampir sama dengan akhir babak pertama di mana pertandingan berjalan membosankan, namun kali ini Tigers agak berani menyerang, karena sudah berada di atas angin. Dan kembali, Rendy tidak kunjung mendapatkan bola. Ini membuat Johnson (dan Lemonek) kesal, karena mereka tidak bisa mengapa-apakan Rendy yang sama sekali memegang bola. Provokasi mereka percuma. Rendy terus bergerak secara acak di kotak penalti Eagles sembari menunggu kiriman bola, yang tentunya tak kunjung datang. Ternyata, gerakan acak Rendy membuat Johnson frustasi. Pada akhirnya ia melampiaskan kekesalannya kepada Rudiman yang berusaha menusuk dari sisi kiri lapangan. Penalti untuk Tigers.

Penalti di tim Tigers biasanya diambil oleh sang kapten, Limpo. Tapi, khusus kali ini, Rendy meminta Limpo untuk membiarkannya mengambil penalti. Pada awalnya Limpo ragu, ia tahu kemampuan tendangan Rendy biasa-biasa saja. Namun ia juga ingat bahwa 90% tendangan penalti itu pasti masuk, dan dari 90% itu, sebagian besarnya adalah keberuntungan. Melihat Rendy, walaupun ia tidak pernah mengatakannya, tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu, Rendy adalah orang yang presentasi keberuntungan dalam mencetak golnya mencapai 100%. Ia percaya pada keberuntungan Rendy. Rendy mengambil penalti itu sambil berkata kepada bola. “Tendang ke mana ini ?”

“oh, Pak Rendy ya ? Tendang ke tengah aja, Pak, nanti saya belok ke mana-ke mananya lihat Lemonek” Ujar si bola kalem.

“oke. Tolong ya.”

“hmm Pak Rendy, sebenarnya apa yang Pak Rendy lakukan sudah tidak bisa dihentikan lagi. Pak Rendy harus siap dengan resikonya. Sudah terlambat untuk Pak Rendy jika ingin kembali.” Kata si bola.

“Ehhh gimana sih ???” Kata Rendy sambil memutar-mutar bola.

“lihat saja nanti, Pak Rendy” jawab si bola.

Rendy lalu menempatkan bola ke titik putih. Ia lalu menendang bola dengan cukup keras ke arah tengah. Lemonek berdiri di tempat yang tepat. Namun, ketika ia akan menangkap bola, bolanya malah terbentur ke jarinya dan terpantul ke dalam gawang. Gol. 3-0 untuk Tigers. Rendy mengacungkan 3 jari ke arah Lemonek, lalu mengedipkan mata ke arah Johnson. Memicu amarahnya tentunya. Namun ia tak bisa melakukan apapun. Setelahnya, pertandingan berjalan dengan sangat lambat. Hingga peluit akhir berbunyi, tidak ada lagi kejadian yang pantas dilaporkan di dalam koran bola. Pertandingan akhirnya usai dengan skor 3-0 untuk Tigers. Rendy berhasil mencetak 3 gol. Misi hat trick-nya berhasil. Ia berterima kasih kepada bola. Bola hanya berkata sama-sama, dan menyuruh Rendy untuk bersiap-siap menerima konsekuensi dari melakukan sesuatu yang berbeda dari apa yang ia lakukan sebelumnya. Ia melihat ke arah press box, di situ ia melihat Lito sedang asyik dengan telepon genggamnya. Mungkin sedang mengunggah video tadi.

Dengan 3 gol, Rendy menjadi man of the match di pertandingan itu. Dan sebagai man of the match, ia berhak menghadiri konferensi pers Liga Super Indonesia.  Namun, ia terkaget-kaget ketika masuk ke press room. Yang ia lihat, bukanlah banner Liga Super Indonesia. Tetapi menjadi QNB: Indonesian Super League. Di bawah tulisan QNB, ada tulisan Qatar National Bank. Bank Nasional Qatar. Sepertinya, itu menjadi sponsor baru Liga Indonesia. Seperti Bank Barclays di Barclays Premiere League, alias Liga Inggris. Beberapa pertanyaan menanyakan perasaan Rendy yang baru saja mencetak hat-trick pertama dalam karirnya. Tentunya ia senang, namun pada akhirnya ia meledak ketika ada seseorang yang bertanya mengenai “gol anda sepertinya semuanya berbau keberuntungan, bagaimana pendapatnya ?” Rendy meninju meja dengan sangat keras. Ia berteriak “NANTI ANDA LIHAT MEDIA SOSIAL ! MEDIA SOSIAL AKAN DIBANJIRI OLEH VIDEO SAYA ! TUNGGU SAJA !”. Rendy Lalu meninggalkan press room, sedangkan mata para wartawan dan panitia acara semua tertuju kepada si wartawan. Mereka melihat wartawan itu dengan wajah kesal, bagai berkata “harus banget sekarang nanya kayak gituan ?”.

Rendy membereskan barang-barangnya dengan cepat. Ia tidak pulang dengan bis klub untuk syukuran. Mood-nya yang tadinya sedang baik menjadi berantakan karena pertanyaan tadi. Selain itu, di kepalanya juga masih berkecamuk pikiran tentang peringatan si bola. Ia juga masih bingung dengan QNB. Seingatnya, Liga Indonesia tertinggi itu bertajuk Liga Super Indonesia, bukan QNB Indonesian Super League. Ia menyempatkan diri juga membuka akun twitter-nya @rendysetiawan09, ia kaget melihat ratusan mention di tab mention miliknya. Ternyata benar, video dari Lito sudah menjadi viral. Strateginya sukses. Kebanyakan yang me-mention-nya memujinya. Ia senang, namun itu tidak cukup untuk mengembalikan mood baiknya. Dalam kondisi seperti ini, biasanya Rendy sengaja mengunjungi kandang lama Tigers, Stadion Siliwangi. Jaraknya cuku jauh dari si Jalak Harupat, kandang Tigers sekarang, namun ia tak kuat untuk mengunjungi stadion Siliwangi. Ia harus ke sana, entah kenapa. Ia harus melepaskan rasa penat dari kepalanya. Memang sehari setelah pertandingan latihan selalu diliburkan, namun tentunya tidak enak berlibur dengan rasa penat. Ia pun memacu mobilnya ke Stadion Siliwangi. Stadion di mana ia tumbuh besar menonton pertandingan Tigers, berlatih sebagai anggota Tigers Junior, hingga akhirnya mendapat pengakuan dari coach Ridwan.

Sesampainya di sana, keadaan stadion sudah cukup gelap. Pertama ia memandangi rumputnya dari tribun. Ia lalu meloncat ke bawah, dan mulai jalan ke dalam lapangan. Rendy sudah sangat dikenal di stadion itu. Penjaga stadion membiarkan ia masuk, bahkan ia diperbolehkan menginjak rumput lapangan yang biasanya harus selalu steril ketika tidak ada pertandingan atau perawatan. Ia berlari-lari kecil di atas lapangan, sambil melihat sekeliling. Memejamkan mata dan mengingat kembali gol perdanya untuk Tigers Junior. Ia tersenyum, lalu berbaring di tengah lapangan. Ia melihat banyak bintang di langit. Ia lalu mengangkat tangannya ke depan wajahnya, mencoba meraih bintang itu dan tersenyum. Apa yang terjadi hari ini, akan menjadi titik awal mimpiku. Aku akan meraihnya. Ia lalu melihat sesuatu yang aneh. Sesuatu yang berbeda dengan apa yang ia lihat selama ini. Papan skor stadion. Ciri khas papan skor Stadion Siliwangi adalah kepala macan di atasnya. Tapi kali ini, yang ia lihat adalah kepala Macan Kumbang berwarna hitam. Baginya, ini adalah sebuah kejadian yang aneh. Jika memang diganti, semestinya penggantian kepala macan itu akan menjadi tajuk utama bagian olah raga Koran Pikiran Rakyat. Tapi ini tidak. Ia lalu bertanya kepada Mang Aceng, sang penjaga stadion, ia hanya menjawab “Hah ? Dari dulu sudah seperti itu, Kang Rendy.” Ia bingung. Mungkin aku lelah. Kata Rendy. Ia pun memutuskan untuk pulang ke rumah.

Rendy tinggal sendiri. Ia belum menikah, dan orang tuanya tinggal di luar negeri. Di Inggris. Rendy sebenarnya diajak untuk ikut serta tinggal di sana, namun ia menolak. Ia memang berangan untuk bermain di Bandung Tigers sejak kecil. Bermain untuk tanah kelahirannya, Bandung. Ketika berumur 15 tahun, orang tuanya pindah ke Inggris karena urusan dinas. Ke kota London, di mana klub favorit Rendy, Arsenal berasal. Namun ia memilih untuk tidak ikut. Karena ia merasa kemampuannya belum cukup untuk bahkan masuk sekolah sepak bola Arsenal. Ia tahu, ada syarat minimal untuk masuk Arsenal. Kemampuannya untuk berbicara dengan bola tidak cukup, kecuali ia dengan gilanya mengakui bahwa ia memang punya kemampuan itu kepada pelatih-pelatih Arsenal. Tentu ia akan disebut gila. Oleh karena itulah ia memilih untuk tetap di Indonesia dan membela Tigers.

Sesampainya di rumah, ia langsung tertidur. Memang benar ia kelelahan. Namun ia tidak tahu, apa yang akan ia lihat di pagi harinya, akan mengubah hidupnya untuk sementara. Terbangun dari tidurnya, Rendy lalu menyiapkan sarapan pagi. Penatnya sudah hilang, tetapi kepala macan menjadi kepala macan kumbang di Stadion Siliwangi masih mengganggu pikirannya. Telepon genggamnya panas dan frozen. Berhenti begitu saja. Sepertinya karena mention twitter-nya terlalu banyak. Ah, sudahlah. Katanya dalam hati. Ia lalu keluar rumah dan menemukan koran Pikiran Rakyat baru. Di rubrik TIGERS yang khusus membahas Bandung Tigers, fotonya terpampang besar. “AING YEUH AING !” HAT-TRICK RENDY SETIAWAN. Begitu tajuknya. Ia senang. Namun, apa yang ia baca di halaman selanjutnya, membuat hatinya berkerut. QNB INDONESIAN SUPER LEAGUE KEMBALI DITUNDA. Begitu katanya. Ia lalu membaca artikelnya.

Ternyata, ini adalah untuk kedua kalinya QNB Indonesian Super League ditunda. Aneh sekali. Yang selama ini ia ikuti adalah Liga Super Indonesia, bukan QNB Indonesian Super League. Mengapa menjadi QNB Indonesian Super League ? Tiba-tiba saja tepat setelah pertandingan di mana ia terlah mencetak hat trick pertamanya. Itu jelas bukan mimpi. Mention di twitter dan tajuk berita di koran berkata jujur. Video yang diunggah oleh Lito juga benar adanya. Ia bisa memutarnya. Lalu mengapa ? Mengapa tiba-tiba menjadi QNB Indonesian Super League ? Mengapa tiba-tiba ditunda ? Rendy terdiam lalu berpikir. Apa mungkin ini dunia paralel ? Ah tidak, itu hanya ada di cerita fiktif saja. Padahal, begitu juga dengan kemampuannya bisa berbicara dengan bola. Ah… Lalu, bagaimana dengan macan kumbang di Siliwangi ? aku harus memastikannya !

Rendy lalu memacu mobilnya lagi ke Stadion Siliwangi. Tanpa mandi, tanpa sarapan, hanya berganti baju saja. Sesampainya di sana, ia bertegur sapa dengan Mang Aceng dan meminta izin untuk masuk ke dalam stadion, tentu saja ia diizinkan. Ia ingin memastikan kembali apa yang ia lihat tadi malam. Ya, ternyata itu sama dengan yang tadi malam. Tidak berubah. Tetap macan kumbang. Ia bingung. Ia bagai berada di dunia lain. Di Bandung yang bukan Bandungnya, di Indonesia yang bukan Indonesianya, di Liga yang bukan Liga Supernya. Di QNB Indonesian Super League. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke luar stadion. Lalu, matanya tertuju dengan sebuah bola sepak yang tergeletak di lantai dekat ruang ganti. Dalam sekejap ia teringat. Teringat akan sebuah kalimat. Sebuah kalimat yang membuatnya berkeringat dingin: “Apakah Pak Rendy siap dengan segala resikonya ?”