Jakarta, 17 Agustus 1945, 1024
Soekarno dan Hatta, Proklamator.
“Atas nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.” Begitu kata si bapak berbaju putih, berpeci, sembari melipat kertas yang selesai ia baca, yang lalu ia masukkan ke dalam saku bajunya. Bapak itu kemudian berjalan ke dalam sebuah mobil berwarna hitam. Buick-8, begitu tulisan yang terpatri di mobil itu. Bapak berbaju putih itu masuk ke bangku belakang, ia menutup pintu dengan cepat. Ia duduk di sebelah kiri, di samping Diro, sang supir. Tak lama, pintu sebelah kanan terbuka, ternyata itu kawan si bapak. Ia juga sama-sama berbaju putih. Bedanya, ia tak berpeci, namun ia berkacamata. “Bung, ke mana lagi kita ?” tanya kawan dari si bapak. “Bung, kita sekarang sudah bebas. Tak perlu tunduk lagi pada Nederland maupun Nippon. Kita Indonesia bung, berhak menghirup nafas di negara sendiri. Merdeka kita !” begitu ucap si bapak dengan semangat. “Betul Bung, kita merdeka atas nama Bung dan saya. Setelah ini bagaimana baiknya ? Berkumpul di PPKI, atau bagaimana ?” tanya kawan si bapak serius. “Aduh Hatta, kamu ini selalu serius ya ? Itu bisa besok lagi, sekarang saya lapar, ingin makan sate !” kata si bapak. Mereka lalu pergi mencari tukang sate keliling.
=============================================================================================
Tak perlu tunduk lagi kepada Nederland ? Si bapak salah. Ternyata, apa yang mesti dihadapi oleh bangsa seumur serangga musim panas ini jauh lebih sederhana dari “tak perlu tunduk lagi kepada Nederland.” Nederland masih menginginkan apa yang mereka rasa adalah hak mereka yang dirampas Nippon.
=============================================================================================
Bandung, 23 Maret 1946, 0430
Tohar dan Ramadhan, Tentara dalam misi.
“Tohar, Ramadhan, kalian lah yang terpilih untuk mengemban misi ini. Misi yang penting. Tolong sukseskan misi ini, apapun yang terjadi, kalian harus siap membuang nyawa kalian demi berjalannya misi ini. Ini semua demi merah putih !” kata seorang pria berusia 40an berkulit cokelat tua dan berminyak, berkacamata, dengan peci khas militer yang ia kenakan di kepala. Di depannya, duduk dua orang anak muda yang sedang memeluk senapan. M-1 Garand, rampasan dari Belanda –atau dalam bahasa si bapak yang di Jakarta, Nederland-. Senapan yang memiliki jarak tembak kurang lebih 400 meter ini adalah senjata yang paling populer di masa itu. Jarak tembak yang jauh, dengan moncong yang stabil dan beban yang tidak begitu berat, menjadikannya ideal sebagai sebuah senapan serbu. Walaupun tidak bisa menembak dengan cepat seperti Bren atau Owen, tapi senjata ini tetap lebih populer karena akurasinya yang sangat tinggi.
Anak muda itu mengangguk. “Siap Pak ! Kami siap mengorbankan nyawa kami demi mempertahankan kemerdekaan ini. Tak kami tak sudi, para tentara Belanda itu menginjakkan kakinya lagi di tanah Parahyangan ini !” kata mereka kompak. Mereka bukan kakak beradik, tetapi mereka memiliki kekompakan yang luar biasa. Mungkin karena mereka berlatih bersama-sama dalam angkatan yang sama di Seinendan, sebuah satuan pemuda Indonesia yang didirikan oleh tentara Jepang –Nippon, yang tadinya ditujukan untuk membantu Jepang melawan sekutu, tapi ternyata mereka malah membelot dan membela tanah airnya sendiri.
Tohar dan Ramadhan, itulah nama keduanya. Mereka memiliki nama depan yang sama: Mohammad. Biarpun demikian, mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Namun, berkaca pada kisah-kisah di masa lampau, adakalanya ikatan sumpah lebih kuat daripada ikatan darah. Tohar dan Ramadhan sama-sama bersumpah bahwa mereka berdua akan menyelesaikan misi itu apapun resikonya. Meskipun nyawa mereka harus ditukar. Sumpah itulah yang mengikat mereka berdua.
=============================================================================================
Ini adalah perang pasca kemerdekaan Indonesia. Dikenal dengan masa Revolusi Nasional Indonesia. Sebuah masa di mana Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan mereka dari Belanda dan tentara sekutu. Bisa dibilang salah satu periode paling berdarah dalam sejarah Indonesia sebagai Indonesia. Mungkin hanya bisa disaingin ke-berdarah-an-nya dengan pembantaian PKI pada pertengahan tahun 60an. Pada masa inilah terjadi salah satu kejadian yang paling mahsyur dalam sejarah Kota Bandung. Bandung Lautan Api.
=============================================================================================
Bandung, 23 Maret 1946, 0700
Tohar dan Ramadhan, Rekan.
“Jadi Dan, jam 7 malam kita harus mulai jalan ke Dayeuh kolot. 12 jam dari sekarang. Kita punya 12 jam lagi untuk berpamitan dengan orang-orang yang kita sayang.” Kata Tohar serius kepada Ramadhan. “iya Har, tapi saya mah sudah tidak punya siapa-siapa untuk dipamiti.” Kata Ramadhan sambil menatap tanah.
“loh, memang orang tua kamu ke mana Dan ?”
“Ibu saya diculik, lalu dibunuh Jepang, ayah saya sudah meninggal di medan perang dulu melawan Belanda. Saya dibesarkan Kakek, tapi lalu Kakek saya meninggal. Karena itu saya masuk Seinendan, makan gratis, matipun tak ada yang peduli”
“waduh Dan, sedih begitu…”
“ya, tapi saya sudah bisa menerimanya Ha.” Mohammad Ramadhan. 19 tahun pada waktu itu. Sudah mengerti makna kehilangan, sudah kehilangan makna kehidupan. Itu yang ia pikir, menjadi tentara, karena sudah tak ada yang bisa ia pedulikan. Saat ini, keluarga yang ia punya hanyalah Tohar, rekannya dalam misi yang mungkin saja menjadi misi bunuh diri. Tapi ia tidak peduli, seandainya harus berpisah, tentu Tohar-lah orang yang akan terakhir ia ajak bicara, karena Tohar dan Ramadhan memang berpasangan dalam misi ini.
“kalau begitu Dan, setelah saya berpamitan dengan orang tua dan paman saya, saya akan kembali ke sini lagi, kita sama-sama bicarakan misi, dan apa yang akan kita lakukan jika kita kembali dari misi nanti. Ya ?” kata Tohar kepada Ramadhan sembari mengharap sebuah jawaban yang positif. Ramadhan mengangguk. Dalam situasi seperti ini, sebuah anggukan adalah suatu hal yang sangat positif, biasanya mereka hanya menunduk, tak bersuara.
=============================================================================================
Pada masa perang kemerdekaan ini, banyak pemuda –yang belum kehilangan maknanya seperti sekarang, di mana bapak-bapak berusia 40 tahun masih bisa disebut “pemuda”- yang terpaksa ikut berperang. Dalam situasi total war, tentunya manpower harus dikerahkan semaksimal mungkin. Ketika fisik mereka memungkinkan untuk berperang, maka berperanglah mereka. Seinendan, satuan tempur buatan Jepang yang diikuti oleh Tohar dan Ramadhan adalah gambaran dari situasi di masa itu. Jepang yang membutuhkan banyak tenaga manusia, merekrut pemuda-pemuda (berusia 19-25 tahun) dari negara yang mereka kolonisasi untuk dijadikan tentara. Dengan dalih “untuk mempertahankan negara setelah meredeka”, Jepang melatih mereka menjadi tentara agar bisa menjadi semacam tentara cadangan yang bisa membantu Jepang ketika Jepang harus berhadapan dengan sekutu.
=============================================================================================
Bandung, 23 Maret 1946, 1213
Mohammad Tohar, Anak, juga Cucu.
“Ambu, aa pergi ya nanti sore. Kalau aa tidak kembali dari misi, Ambu ikhlasin aa ya, ini demi merah putih, demi si neng juga kalau sudah besar nanti.” Kata Tohar berpamitan kepada ibunya. Ibunya menangis sambil memeluk anaknya dengan erat. “Aa tidak boleh berbicara seperti itu, iya, Ambu mengerti kalau Aa memang sedang dalam tugas, tapi Aa harus yakin kalau Aa akan pulang dengan selamat. Demi eneng juga, A.” Tohar hanya tersenyum, lalu berkata “iya Ambu, Insya Allah. Neng, Aa pergi dulu ya, Neng jangan nakal ya.” Kata Tohar sambil mengusap kepala Eneng. ‘Eneng’ adalah panggilan sayang Tohar untuk adiknya yang masih berumur 8 tahun. Berbeda jauh memang. Ayah kandung Tohar meninggal sejak lama, Ibunya menikah lagi dengan pamannya, namun mereka bercerai ketika sedang hamil adik dari Tohar. Setelah bercerai, Tohar dibesarkan oleh kakek dan neneknya. Itulah tempat yang ia tuju sekarang.
Dengan langkah perlahan namun mantap, Tohar pergi ke rumah kakek dan neneknya tinggal. Kakek dan Nenek Tohar sudah berumur 70 tahun, namun kondisi tubuhnya masih sangat prima. Mereka lah yang mendidik Tohar, menyekolahkan Tohar ke sekolah rakyat. Merekalah yang membentuk sosok Tohar seperti sekarang. Pandai berkawan, percaya diri, pintar, dan jujur. Sosok yang ideal untuk seorang tentara.
“Aki, Enin, Tohar pamit ya. Kalau…” belum selesai Tohar mengucapkan kalimat pamitannya, Kakek Tohar mengangkat tangannya dan menyuruh Tohar untuk berhenti berbicara. “Tohar, aki dan nini mengerti tanggung jawab kamu sebagai prajurit. Sekarang Tohar pergilah jalani tugas Tohar dengan lapang dada. Jika ada apa-apa, Insya Allah aki dan nini siap.” Tohar menatap kakek dan neneknya dengan mantap. Tohar tidak berpelukan. Entah kenapa, kata-kata dari kakek dan neneknya menimbulkan rasa percaya diri baru yang membuat Tohar percaya bahwa ia akan kembali dengan selamat.
=============================================================================================
Pada masa perang, adalah hal lumrah apabila seorang anak dibesarkan oleh kakek dan neneknya. Dalam masa di mana semua serba tidak pasti, peran orang tua dapat digantikan oleh kerabat terdekat.
=============================================================================================
Bandung, 23 Maret 1946, 1315
Mohammad Tohar, Anak Kampung Sekitar.
Dalam perjalanannya menuju ke tempat Ramadhan. Tohar berpapasan dengan beberapa teman kecilnya, ia juga berpamitan kepada mereka. Sesekali mereka mencoba mengajak Tohar mengobrol lebih lama, mengingat-mengingat bagaimana di masa kecil mereka Tohar sering berperan menjadi jenderal perang mereka. Namun, Tohar tak bisa berlama-lama, ia masih harus menuntaskan janjinya dengan Ramadhan. Tohar memang orang yang mudah berteman. Namun, mengapa ia ingin cepat menemui Ramadhan, itu bukan karena ia peduli dengan Ramadhan sebagai sesama anak muda, tetapi ia percaya, apabila Ramadhan pergi menjalankan misinya dengan keadaan yang lebih tenang, itu akan memberinya keuntungan. Setelah berpamitan dengan banyak orang, ia sadar akan satu hal: Tohar tidak mau mati.
=============================================================================================
Bandung, 23 Maret 1946, 1000
Mohammad Ramadhan, Yatim Piatu.
“Seandainya misi ini gagal, sudah pasti aku tertangkap. Jika tertangkap, aku tinggal menunggu waktu, antara disiksa, atau dibunuh langsung. Aku lebih suka dibunuh langsung. Aku memang sudah bosan hidup. Merdeka sih merdeka, tapi apa yang bisa aku nikmati dari kemerdekaan ini ? Bukannya aku meremehkan pendahuluku, bukan juga meremehkan ayahku, tapi, aku yang sekarang, bisa apa aku selain berperang ? Tidak mungkin juga aku berdoa agar perang terus berjalan, meskipun itu yang aku mau. Jikalau perang terus berjalan, akan banyak orang yang seperti aku. Aku tidak mau.” Ucap Ramadhan ke hadapan cermin yang ada di tenda militernya.
Ramadhan sempat ikut berperang melawan Jepang di usianya yang masih 14 tahun. Waktu itu, ia terpaksa menembak tentara Jepang yang merangsek masuk ke rumahnya untuk membunuh kakeknya yang diduga sebagai otak pemberontak. Ia mengambil senapan peninggalan ayahnya, lalu berhasil membunuh seorang tentara Jepang. Ia kabur dan bergabung dengan tentara gerilya sebelum bergabung dengan Seinendan di usia 16 tahun. Setelah itu, ia menderita PTSD (Post-Traumatic Stress Disodrder, sebuah kondisi psikologis di mana seseorang mengalami gangguan kejiwaan setelah melalui trauma yang mendalam). Namun, karena pada masa itu ilmu pengetahuan di Indonesia sendiri belum memadai, Ramadhan tidak mendapatkan pengobatan sama sekali.
=============================================================================================
Tentunya ini adalah cerita fiksi belaka. Hanya tokohnya memang mengambil dari tokoh asli Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan, pahlawan Bandung. Keduanya memang diabadikan menjadi nama jalan di Bandung. Kisahnya yang heroik juga. Namun sayang, kisah tentang diri mereka tidak banyak bisa saya temukan. Jadilah saya mencoba mengkonstruksi dua karakter yang benar-benar berbeda seperti ini, kedua namanya pun sengaja saya ubah untuk menghormati almarhum.
=============================================================================================
Bandung, 23 Maret 1946, 1530
Tohar dan Ramadhan, Mencoba Saling Mengerti.
Tohar kembali ke markas. Ia mencoba menemui Ramadhan, membicarakan apa yang kira-kira akan mereka lakukan setelah misi ini. Tujuannya, membangun rasa positif di kepala Ramadhan. Ia masih takut mati. Dan ia takut kepada ketidaktakutan Ramadhan terhadap kematian, justru akan menghantarkannya kepada kematian. Ia mencari Ramadhan, dan ia menemukan Ramadhan di dalam tendanya.
“Dan, boleh saya masuk ?” tanya Tohar.
“Ya, silahkan” Ramadhan mengizinkan Tohar masuk.
“Dan, sedang apa ?”
“Tidak sedang apa-apa, hanya sedang bersiap-siap untuk misi saja.”
“Ooh. Mmm…”
“Kenapa Har ?”
“Dan, setelah misi ini, mau saya kenalkan sama teman saya dulu ? Namanya Euis, dia teman kecil saya. Anaknya luar biasa baik, kamu pasti suka Dan”
“Untuk apa ?”
“Dijadikan istri mungkin ?”
“Hahahahaahaahaha” Ramadhan tertawa dengan kencang. Tohar bingung. “kenapa malah ketawa Dan ?”
“Istri ? Tohar, di masa yang serba tidak pasti seperti ini, saya tidak tahu kapan saya mati, atau bagaimana, saya juga tidak bisa menjamin istri saya tetap hidup. Saya tidak mau kehilangan istri, dan saya tidak mau istri saya kehilangan saya. Tidak beristri lebih bagus. Jika saya mati, cukup kamu dan satuan ini yang kehilangan saya.” Kata Ramadhan tegas, tanpa terputus.
Tohar tidak bisa berkata-kata. Ia harus berpasangan dengan seseorang yang siap mati. Berpasangan dalam sebuah misi yang di dalam briefing awalnya sudah dikatakan: “Misi ini lebih penting daripada nyawa kalian.” Tohar belum siap mati. Tapi harus. Tohar sudah siap mati.
=============================================================================================
Bandung, 23 Maret 1946, 1600
Tohar dan Ramadhan, Siap Berperang.
Tohar dan Ramadhan mendapatkan briefing untuk terakhir kalinya sebelum mereka turun ke dalam misi. Setelah sebelumnya pamit kepada Ben Alamsyah, pamannya yang menjadi petinggi di pasukannya. Pamannya tidak banyak berbicara manis, hanya memeberikan wejangan-wejangan yang berhubungan dengan peperangan saja. Dalam briefing dijelaskan bahwa misi Tohar dan Ramadhan adalah menghancurkan gudang mesiu milik tentara Belanda. Gudang mesiu itu terletak di Kota Tua, Dayeuh Kolot. Untuk mencapai ke Dayeuh Kolot dari markas mereka tidaklah sulit. Hanya perlu menumpang delman. Namun, perjalanannya sendiri cukup memakan waktu. Sekitar 3 jam. Mereka dipersenjatai dengan 2 buah senapan M-1 Garand, 1 set dinamit, dan pisau tajam yang juga rampasan dari tentara Belanda.
Agar dapat masuk ke daerah militer, mereka hanya perlu memakai baju sipil saja. Senapan bisa mereka sembunyikan di bawah gerobak yang dibawa oleh delman itu. Ini terjadi karena tentara Belanda memfokuskan penjagaannya di daerah pusat kota Bandung. Demi menjaga ultimatum mereka untuk mengosongkan kota Bandung.
Dua senjata M-1 Garand dan satu ikat dinamit (isi 6) sudah dikaitkan di ikatan besi di bawah delman, sedangkan pisau diselipkan di celana sejak awal. Kusir sudah siap memerintahkan kuda untuk bergerak. Tohar dan Ramadhan berpamitan untuk terakhir kalinya. Mereka memekikkan kata “MERDEKA !” sebelum akhirnya kusir menarik talinya agar kuda mulai berjalan menarik gerobak delman. Dalam kurun waktu kurang lebih 3 jam, mereka sampai di daerah Dayeuh Kolot. Ternyata mudah saja mereka masuk ke daerah situ. Tak ada pemeriksaan. Seandainya mereka datang dengan truk tentara pun, sepertinya mereka tidak akan tertangkap. Setelah mereka turun, mengambil senapan dan dinamit, merekapun berpamitan dengan kusir. “semoga sukses, merdeka !” kata kusir itu dengan suara pelan. Ramadhan sedikit tertawa. Lucu katanya, bilang merdeka tapi sambil bisik-bisik.
Misi pun dimulai.
=============================================================================================
Bandung, 23 Maret 1946, 1930
Tohar dan Ramadhan, Sedang Dalam Misi.
Dalam kehidupan yang lebih baik, gudang mesiu yang menjadi incaran mereka ditinggal semua penjaganya. Kosong, hanya ada gudang mesiu. Namun, dunia bukanlah hanya sekedar kumpulan harapan. Dunia adalah tempat di mana kumpulan harap harus terpecah berantakan di depan kenyataan. Gudang mesiu itu dijaga ketat. Entah bagaimana para tentara Belanda ini bisa tahu gudang mesiu akan diincar oleh Tohar dan Ramadhan di malam itu. “ini pasti ada pengkhianat !” kata Tohar kepada Ramadhan sambil berbisik. “Pengkhianat ? Tohar, ini adalah daerah strategis militer, tentu mereka akan selalu menjaganya seperti itu !” kata Ramadhan sedikit marah. Tohar tidak menggubris.
“Sekarang, bagaimana cara masuk ke dalam gudang mesiu yang dijaga sangat ketat itu ?” gumam Tohar. Gumaman Tohar ternyata terdengar oleh Ramadhan. “Har, itu liat, ada sungai kecil. Mungkin itu sungainya sampai ke dalam gudang, mungkin itu saluran air yang seperti kata Pak Anwar –komandan mereka berdua-” kata Ramadhan sambil menunjuk sungai kecil yang memang mengalir ke arah gudang mesiu. “Hmm, itu satu-satunya air yang keluar dari gudang mesiu. Iya Dan, tidak salah lagi.” Kata Tohar yakin.
Tohar dan Ramadhan bergerak perlahan mendekati sungai itu, ternyata benar, sungai itu mengarah kepada sebuah gorong-gorong yang menganga di badan dari gedung mesiu itu. Mereka pun lalu menyusuri sungai itu. Pada saat itu mereka sadar, mereka harus membuang senjata mereka, harus membawa dan menjaga dinamit agar tetap kering sehingga dapat dipakai untuk meledakkan gudang mesiu itu. Tohar dan Ramadhan bersepakat, bahwa Tohar menjadi pembawa dinamit, dan Ramadhan menjadi penjaga Tohar. “yang menjaga, bisa lebih cepat mati, Tohar, apabila kamu terdeteksi oleh lawan, maka saya yang akan menghadapi mereka, kamu lari, lalu ledakkan dinamit itu. Aku akan mati beberapa menit lebih cepat darimu” kata Ramadhan. Tohar sudah tidak bisa berkata-kata. Sepertinya benar, ini akan menjadi misi bunuh diri. Seandainya mereka bisa meletakkan dinamit dengan selamat, mereka tidak bisa ambil resiko dengan membuat sumbu yang panjang. Akan mudah ketahuan. Apabila memakai sumbu pendek, maka mereka tidak bisa melarikan diri dengan cukup waktu. Dan misi ini, jauh lebih penting daripada hidup mereka. Misinya sederhana: “Hancurkan gedung mesiu Belanda.” Itu saja. Tak perlu kembali dengan selamat, yang penting gedung mesiunya hancur. Titik.
=============================================================================================
Seberapa pentingkah misi ini ? Tentunya penting sekali. Menyabotase suplai senjata adalah langkah penting dalam berperang. Tanpa senjata, tentara sekutu mau menembak pakai apa ? Toh kalau masalah keberanian, strategi, dan kegilaan, tentara Indonesia yang baru lahir pada masa itu jauh lebih gila. Keuntungan strategis yang akan didapatkan apabila misi ini berhasil akan sangat luar biasa.
=============================================================================================
Bandung, 23 Maret 1946, 2104
Tohar, Penyusup. Ramadhan, Jenazah.
Tohar berhasil masuk ke dalam Gudang mesiu Belanda. Punggungnya berlumuran darah. Tapi itu bukan darahnya, melainkan dalam rekannya, Ramadhan. Ramadhan memang benar-benar memegang janjinya. Ia tewas melindungi Tohar. Lebih dari itu, ia tewas terlebih dahulu. Tapi Tohar benci fakta bahwa sejauh ini Ramadhan selalu benar. Karena jika demikian, maka ia akan tewas sebentar lagi. Ramadhan berkata bahwa ia bisa gugur beberapa menit sebelum Tohar gugur. Ramadhan sudah gugur. Giliran Tohar.
Tohar berhasil memasuki ruangan yang penuh dengan bahan peledak. Dinamit, granat, bubuk mesiu yang masih mentah. Segala macam sudah ada di ruangan itu. Tohar cukup pintar untuk mengunci ruangan itu dari dalam. Dengan begitu, tak ada tentara Belanda yang bisa masuk ke dalam ruangan itu. Tohar terdiam, sementara itu derap langkah tetntara Belanda mulai mengisi lorong tempat ruangan itu berada. Ramadhan berhasil memberi Tohar ruang dan waktu yang cukup untuk lari dan masuk ke ruangan itu. Ketika memberi ruang dan waktu itu lah Ramadhan tewas tertembak. Kata-kata terakhirnya luar biasa, dan itu akan terngiang di kepala Tohar hingga akhir hayatnya –yang sebentar lagi. “TOHAR, KALAU DINAMIT ITU TIDAK MELEDAK, SAYA TUNGGU KAMU DI AKHIRAT !”.
Kali ini Tohar sudah siap. Ia akan meledakkan dinamit itu, beserta seluruh gudang mesiu milik Belanda ini. Ledakannya akan luar biasa, karena ledakan dari dinamit Tohar akan memicu ledakan gudang yang menuh dengan mesiu ini. Tohar memejamkan matanya. “Ini bukan demi Indonesia. Ini demi perjuangan yang sudah aku dan Ramadhan lakukan.” Begitu pikirnya. Dinamit itu ia nyalakan dengan sumbu pendek. Lalu, 5… 4… 3… 2… 1… semuanya memekak, terang, tapi lalu tiba-tiba menjadi gelap. Dalam sekejap gudang mesiu itu menjadi reruntuhan, dan Tohar, termasuk di dalamnya.
=============================================================================================
Pada akhirnya, kita tidak akan pernah tahu bukan, siapa berjuang untuk apa ? Bukannya tidak mungkin kalau Tohar dan Ramadhan memang berjuang untuk diri mereka masing-masing.
=============================================================================================
Bandung, 12 November 2015. 1100
Bima dan Fatia, Pengarang, Pasangan.
“Ini namanya jalan Mohammad Toha Mbak, itu rumahnya Reza di situ.” Kata Bima seperti tour guide yang sedang mengantarkan Fatia keliling Bandung. Rumahnya Reza ini bukan objek wisata memang, tapi rumah dari teman dekat Bima sendiri. Dan jalan Mohammad Toha ini adalah Tohar yang merupakan karakter dari cerita yang Bima karang pada 17 Agustus 2015. Tak lama, ada sebuah pemandangan yang cukup unik. Patung ikan. Fatia bertanya:
“Ini patung apa Mas ?”
“patung ikan Mbak”
“kok ?”
“nggak tau Mbak, aneh emang. Tapi ini adanya di Jalan Mohammad Ramdan. Yang ceritanya Ramadhan temennya Tohar itu”
“ooh…”
=============================================================================================
Pada akhirnya, aksi Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan menjadi sebuah legenda di kota Bandung. Aksi mereka seringkali dikaitkan dengan kisah Bandung Lautan Api, di mana para penduduk dan tentara kota Bandung membakar kota mereka agar kota mereka tidak bisa dijadikan keuntungan strategis untuk Belanda. Strategi yang gila memang, tapi karena data yang saya miliki sangatlah kurang, saya tidak bisa menilai apakah itu strategi yang gila namun brilian, atau hanya gila saja.