Dinamit

Jakarta, 17 Agustus 1945, 1024

Soekarno dan Hatta, Proklamator.

“Atas nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.” Begitu kata si bapak berbaju putih, berpeci, sembari melipat kertas yang selesai ia baca, yang lalu ia masukkan ke dalam saku bajunya. Bapak itu kemudian berjalan ke dalam sebuah mobil berwarna hitam. Buick-8, begitu tulisan yang terpatri di mobil itu. Bapak berbaju putih itu masuk ke bangku belakang, ia menutup pintu dengan cepat. Ia duduk di sebelah kiri, di samping Diro, sang supir. Tak lama, pintu sebelah kanan terbuka, ternyata itu kawan si bapak. Ia juga sama-sama berbaju putih. Bedanya, ia tak berpeci, namun ia berkacamata. “Bung, ke mana lagi kita ?” tanya kawan dari si bapak. “Bung, kita sekarang sudah bebas. Tak perlu tunduk lagi pada Nederland maupun Nippon. Kita Indonesia bung, berhak menghirup nafas di negara sendiri. Merdeka kita !” begitu ucap si bapak dengan semangat. “Betul Bung, kita merdeka atas nama Bung dan saya. Setelah ini bagaimana baiknya ? Berkumpul di PPKI, atau bagaimana ?” tanya kawan si bapak serius. “Aduh Hatta, kamu ini selalu serius ya ? Itu bisa besok lagi, sekarang saya lapar, ingin makan sate !” kata si bapak. Mereka lalu pergi mencari tukang sate keliling.

=============================================================================================

Tak perlu tunduk lagi kepada Nederland ? Si bapak salah. Ternyata, apa yang mesti dihadapi oleh bangsa seumur serangga musim panas ini jauh lebih sederhana dari “tak perlu tunduk lagi kepada Nederland.” Nederland masih menginginkan apa yang mereka rasa adalah hak mereka yang dirampas Nippon.

=============================================================================================

Bandung, 23 Maret 1946, 0430

Tohar dan Ramadhan, Tentara dalam misi.

“Tohar, Ramadhan, kalian lah yang terpilih untuk mengemban misi ini. Misi yang penting. Tolong sukseskan misi ini, apapun yang terjadi, kalian harus siap membuang nyawa kalian demi berjalannya misi ini. Ini semua demi merah putih !” kata seorang pria berusia 40an berkulit cokelat tua dan berminyak, berkacamata, dengan peci khas militer yang ia kenakan di kepala. Di depannya, duduk dua orang anak muda yang sedang memeluk senapan. M-1 Garand, rampasan dari Belanda –atau dalam bahasa si bapak yang di Jakarta, Nederland-. Senapan yang memiliki jarak tembak kurang lebih 400 meter ini adalah senjata yang paling populer di masa itu. Jarak tembak yang jauh, dengan moncong yang stabil dan beban yang tidak begitu berat, menjadikannya ideal sebagai sebuah senapan serbu. Walaupun tidak bisa menembak dengan cepat seperti Bren atau Owen, tapi senjata ini tetap lebih populer karena akurasinya yang sangat tinggi.

Anak muda itu mengangguk. “Siap Pak ! Kami siap mengorbankan nyawa kami demi mempertahankan kemerdekaan ini. Tak kami tak sudi, para tentara Belanda itu menginjakkan kakinya lagi di tanah Parahyangan ini !” kata mereka kompak. Mereka bukan kakak beradik, tetapi mereka memiliki kekompakan yang luar biasa. Mungkin karena mereka berlatih bersama-sama dalam angkatan yang sama di Seinendan, sebuah satuan pemuda Indonesia yang didirikan oleh tentara Jepang –Nippon, yang tadinya ditujukan untuk membantu Jepang melawan sekutu, tapi ternyata mereka malah membelot dan membela tanah airnya sendiri.

Tohar dan Ramadhan, itulah nama keduanya. Mereka memiliki nama depan yang sama: Mohammad. Biarpun demikian, mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. Namun, berkaca pada kisah-kisah di masa lampau, adakalanya ikatan sumpah lebih kuat daripada ikatan darah. Tohar dan Ramadhan sama-sama bersumpah bahwa mereka berdua akan menyelesaikan misi itu apapun resikonya. Meskipun nyawa mereka harus ditukar. Sumpah itulah yang mengikat mereka berdua.

=============================================================================================

Ini adalah perang pasca kemerdekaan Indonesia. Dikenal dengan masa Revolusi Nasional Indonesia. Sebuah masa di mana Indonesia harus mempertahankan kemerdekaan mereka dari Belanda dan tentara sekutu. Bisa dibilang salah satu periode paling berdarah dalam sejarah Indonesia sebagai Indonesia. Mungkin hanya bisa disaingin ke-berdarah-an-nya dengan pembantaian PKI pada pertengahan tahun 60an. Pada masa inilah terjadi salah satu kejadian yang paling mahsyur dalam sejarah Kota Bandung. Bandung Lautan Api.

=============================================================================================

Bandung, 23 Maret 1946, 0700

Tohar dan Ramadhan, Rekan.

“Jadi Dan, jam 7 malam kita harus mulai jalan ke Dayeuh kolot. 12 jam dari sekarang. Kita punya 12 jam lagi untuk berpamitan dengan orang-orang yang kita sayang.” Kata Tohar serius kepada Ramadhan. “iya Har, tapi saya mah sudah tidak punya siapa-siapa untuk dipamiti.” Kata Ramadhan sambil menatap tanah.

“loh, memang orang tua kamu ke mana Dan ?”

“Ibu saya diculik, lalu dibunuh Jepang, ayah saya sudah meninggal di medan perang dulu melawan Belanda. Saya dibesarkan Kakek, tapi lalu Kakek saya meninggal. Karena itu saya masuk Seinendan, makan gratis, matipun tak ada yang peduli”

“waduh Dan, sedih begitu…”

“ya, tapi saya sudah bisa menerimanya Ha.” Mohammad Ramadhan. 19 tahun pada waktu itu. Sudah mengerti makna kehilangan, sudah kehilangan makna kehidupan. Itu yang ia pikir, menjadi tentara, karena sudah tak ada yang bisa ia pedulikan. Saat ini, keluarga yang ia punya hanyalah Tohar, rekannya dalam misi yang mungkin saja menjadi misi bunuh diri. Tapi ia tidak peduli, seandainya harus berpisah, tentu Tohar-lah orang yang akan terakhir ia ajak bicara, karena Tohar dan Ramadhan memang berpasangan dalam misi ini.

“kalau begitu Dan, setelah saya berpamitan dengan orang tua dan paman saya, saya akan kembali ke sini lagi, kita sama-sama bicarakan misi, dan apa yang akan kita lakukan jika kita kembali dari misi nanti. Ya ?” kata Tohar kepada Ramadhan sembari mengharap sebuah jawaban yang positif. Ramadhan mengangguk. Dalam situasi seperti ini, sebuah anggukan adalah suatu hal yang sangat positif, biasanya mereka hanya menunduk, tak bersuara.

=============================================================================================

Pada masa perang kemerdekaan ini, banyak pemuda –yang belum kehilangan maknanya seperti sekarang, di mana bapak-bapak berusia 40 tahun masih bisa disebut “pemuda”- yang terpaksa ikut berperang. Dalam situasi total war, tentunya manpower harus dikerahkan semaksimal mungkin. Ketika fisik mereka memungkinkan untuk berperang, maka berperanglah mereka. Seinendan, satuan tempur buatan Jepang yang diikuti oleh Tohar dan Ramadhan adalah gambaran dari situasi di masa itu. Jepang yang membutuhkan banyak tenaga manusia, merekrut pemuda-pemuda (berusia 19-25 tahun) dari negara yang mereka kolonisasi untuk dijadikan tentara. Dengan dalih “untuk mempertahankan negara setelah meredeka”, Jepang melatih mereka menjadi tentara agar bisa menjadi semacam tentara cadangan yang bisa membantu Jepang ketika Jepang harus berhadapan dengan sekutu.

=============================================================================================

Bandung, 23 Maret 1946, 1213

Mohammad Tohar, Anak, juga Cucu.

“Ambu, aa pergi ya nanti sore. Kalau aa tidak kembali dari misi, Ambu ikhlasin aa ya, ini demi merah putih, demi si neng juga kalau sudah besar nanti.” Kata Tohar berpamitan kepada ibunya. Ibunya menangis sambil memeluk anaknya dengan erat. “Aa tidak boleh berbicara seperti itu, iya, Ambu mengerti kalau Aa memang sedang dalam tugas, tapi Aa harus yakin kalau Aa akan pulang dengan selamat. Demi eneng juga, A.” Tohar hanya tersenyum, lalu berkata “iya Ambu, Insya Allah. Neng, Aa pergi dulu ya, Neng jangan nakal ya.” Kata Tohar sambil mengusap kepala Eneng. ‘Eneng’ adalah panggilan sayang Tohar untuk adiknya yang masih berumur 8 tahun. Berbeda jauh memang. Ayah kandung Tohar meninggal sejak lama, Ibunya menikah lagi dengan pamannya, namun mereka bercerai ketika sedang hamil adik dari Tohar. Setelah bercerai, Tohar dibesarkan oleh kakek dan neneknya. Itulah tempat yang ia tuju sekarang.

Dengan langkah perlahan namun mantap, Tohar pergi ke rumah kakek dan neneknya tinggal. Kakek dan Nenek Tohar sudah berumur 70 tahun, namun kondisi tubuhnya masih sangat prima. Mereka lah yang mendidik Tohar, menyekolahkan Tohar ke sekolah rakyat. Merekalah yang membentuk sosok Tohar seperti sekarang. Pandai berkawan, percaya diri, pintar, dan jujur. Sosok yang ideal untuk seorang tentara.

“Aki, Enin, Tohar pamit ya. Kalau…” belum selesai Tohar mengucapkan kalimat pamitannya, Kakek Tohar mengangkat tangannya dan menyuruh Tohar untuk berhenti berbicara. “Tohar, aki dan nini mengerti tanggung jawab kamu sebagai prajurit. Sekarang Tohar pergilah jalani tugas Tohar dengan lapang dada. Jika ada apa-apa, Insya Allah aki dan nini siap.” Tohar menatap kakek dan neneknya dengan mantap. Tohar tidak berpelukan. Entah kenapa, kata-kata dari kakek dan neneknya menimbulkan rasa percaya diri baru yang membuat Tohar percaya bahwa ia akan kembali dengan selamat.

=============================================================================================

Pada masa perang, adalah hal lumrah apabila seorang anak dibesarkan oleh kakek dan neneknya. Dalam masa di mana semua serba tidak pasti, peran orang tua dapat digantikan oleh kerabat terdekat.

=============================================================================================

Bandung, 23 Maret 1946, 1315

Mohammad Tohar, Anak Kampung Sekitar.

Dalam perjalanannya menuju ke tempat Ramadhan. Tohar berpapasan dengan beberapa teman kecilnya, ia juga berpamitan kepada mereka. Sesekali mereka mencoba mengajak Tohar mengobrol lebih lama, mengingat-mengingat bagaimana di masa kecil mereka Tohar sering berperan menjadi jenderal perang mereka. Namun, Tohar tak bisa berlama-lama, ia masih harus menuntaskan janjinya dengan Ramadhan. Tohar memang orang yang mudah berteman. Namun, mengapa ia ingin cepat menemui Ramadhan, itu bukan karena ia peduli dengan Ramadhan sebagai sesama anak muda, tetapi ia percaya, apabila Ramadhan pergi menjalankan misinya dengan keadaan yang lebih tenang, itu akan memberinya keuntungan. Setelah berpamitan dengan banyak orang, ia sadar akan satu hal: Tohar tidak mau mati.

=============================================================================================

Bandung, 23 Maret 1946, 1000

Mohammad Ramadhan, Yatim Piatu.

“Seandainya misi ini gagal, sudah pasti aku tertangkap. Jika tertangkap, aku tinggal menunggu waktu, antara disiksa, atau dibunuh langsung. Aku lebih suka dibunuh langsung. Aku memang sudah bosan hidup. Merdeka sih merdeka, tapi apa yang bisa aku nikmati dari kemerdekaan ini ? Bukannya aku meremehkan pendahuluku, bukan juga meremehkan ayahku, tapi, aku yang sekarang, bisa apa aku selain berperang ? Tidak mungkin juga aku berdoa agar perang terus berjalan, meskipun itu yang aku mau. Jikalau perang terus berjalan, akan banyak orang yang seperti aku. Aku tidak mau.” Ucap Ramadhan ke hadapan cermin yang ada di tenda militernya.

Ramadhan sempat ikut berperang melawan Jepang di usianya yang masih 14 tahun. Waktu itu, ia terpaksa menembak tentara Jepang yang merangsek masuk ke rumahnya untuk membunuh kakeknya yang diduga sebagai otak pemberontak. Ia mengambil senapan peninggalan ayahnya, lalu berhasil membunuh seorang tentara Jepang. Ia kabur dan bergabung dengan tentara gerilya sebelum bergabung dengan Seinendan di usia 16 tahun. Setelah itu, ia menderita PTSD (Post-Traumatic Stress Disodrder, sebuah kondisi psikologis di mana seseorang mengalami gangguan kejiwaan setelah melalui trauma yang mendalam). Namun, karena pada masa itu ilmu pengetahuan di Indonesia sendiri belum memadai, Ramadhan tidak mendapatkan pengobatan sama sekali.

=============================================================================================

Tentunya ini adalah cerita fiksi belaka. Hanya tokohnya memang mengambil dari tokoh asli Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan, pahlawan Bandung. Keduanya memang diabadikan menjadi nama jalan di Bandung. Kisahnya yang heroik juga. Namun sayang, kisah tentang diri mereka tidak banyak bisa saya temukan. Jadilah saya mencoba mengkonstruksi dua karakter yang benar-benar berbeda seperti ini, kedua namanya pun sengaja saya ubah untuk menghormati almarhum.

=============================================================================================

Bandung, 23 Maret 1946, 1530

Tohar dan Ramadhan, Mencoba Saling Mengerti.

Tohar kembali ke markas. Ia mencoba menemui Ramadhan, membicarakan apa yang kira-kira akan mereka lakukan setelah misi ini. Tujuannya, membangun rasa positif di kepala Ramadhan. Ia masih takut mati. Dan ia takut kepada ketidaktakutan Ramadhan terhadap kematian, justru akan menghantarkannya kepada kematian. Ia mencari Ramadhan, dan ia menemukan Ramadhan di dalam tendanya.

“Dan, boleh saya masuk ?” tanya Tohar.

“Ya, silahkan” Ramadhan mengizinkan Tohar masuk.

“Dan, sedang apa ?”

“Tidak sedang apa-apa, hanya sedang bersiap-siap untuk misi saja.”

“Ooh. Mmm…”

“Kenapa Har ?”

“Dan, setelah misi ini, mau saya kenalkan sama teman saya dulu ? Namanya Euis, dia teman kecil saya. Anaknya luar biasa baik, kamu pasti suka Dan”

“Untuk apa ?”

“Dijadikan istri mungkin ?”

“Hahahahaahaahaha” Ramadhan tertawa dengan kencang. Tohar bingung. “kenapa malah ketawa Dan ?”

“Istri ? Tohar, di masa yang serba tidak pasti seperti ini, saya tidak tahu kapan saya mati, atau bagaimana, saya juga tidak bisa menjamin istri saya tetap hidup. Saya tidak mau kehilangan istri, dan saya tidak mau istri saya kehilangan saya. Tidak beristri lebih bagus. Jika saya mati, cukup kamu dan satuan ini yang kehilangan saya.” Kata Ramadhan tegas, tanpa terputus.

Tohar tidak bisa berkata-kata. Ia harus berpasangan dengan seseorang yang siap mati. Berpasangan dalam sebuah misi yang di dalam briefing awalnya sudah dikatakan: “Misi ini lebih penting daripada nyawa kalian.” Tohar belum siap mati. Tapi harus. Tohar sudah siap mati.

=============================================================================================

Bandung, 23 Maret 1946, 1600

Tohar dan Ramadhan, Siap Berperang.

Tohar dan Ramadhan mendapatkan briefing untuk terakhir kalinya sebelum mereka turun ke dalam misi. Setelah sebelumnya pamit kepada Ben Alamsyah, pamannya yang menjadi petinggi di pasukannya. Pamannya tidak banyak berbicara manis, hanya memeberikan wejangan-wejangan yang berhubungan dengan peperangan saja. Dalam briefing dijelaskan bahwa misi Tohar dan Ramadhan adalah menghancurkan gudang mesiu milik tentara Belanda. Gudang mesiu itu terletak di Kota Tua, Dayeuh Kolot. Untuk mencapai ke Dayeuh Kolot dari markas mereka tidaklah sulit. Hanya perlu menumpang delman. Namun, perjalanannya sendiri cukup memakan waktu. Sekitar 3 jam.  Mereka dipersenjatai dengan 2 buah senapan M-1 Garand, 1 set dinamit, dan pisau tajam yang juga rampasan dari tentara Belanda.

Agar dapat masuk ke daerah militer, mereka hanya perlu memakai baju sipil saja. Senapan bisa mereka sembunyikan di bawah gerobak yang dibawa oleh delman itu. Ini terjadi karena tentara Belanda memfokuskan penjagaannya di daerah pusat kota Bandung. Demi menjaga ultimatum mereka untuk mengosongkan kota Bandung.

Dua senjata M-1 Garand dan satu ikat dinamit (isi 6) sudah dikaitkan di ikatan besi di bawah delman, sedangkan pisau diselipkan di celana sejak awal. Kusir sudah siap memerintahkan kuda untuk bergerak. Tohar dan Ramadhan berpamitan untuk terakhir kalinya. Mereka memekikkan kata “MERDEKA !” sebelum akhirnya kusir menarik talinya agar kuda mulai berjalan menarik gerobak delman. Dalam kurun waktu kurang lebih 3 jam, mereka sampai di daerah Dayeuh Kolot. Ternyata mudah saja mereka masuk ke daerah situ. Tak ada pemeriksaan. Seandainya mereka datang dengan truk tentara pun, sepertinya mereka tidak akan tertangkap. Setelah mereka turun, mengambil senapan dan dinamit, merekapun berpamitan dengan kusir. “semoga sukses, merdeka !” kata kusir itu dengan suara pelan. Ramadhan sedikit tertawa. Lucu katanya, bilang merdeka tapi sambil bisik-bisik.

Misi pun dimulai.

=============================================================================================

Bandung, 23 Maret 1946, 1930

Tohar dan Ramadhan, Sedang Dalam Misi.

Dalam kehidupan yang lebih baik, gudang mesiu yang menjadi incaran mereka ditinggal semua penjaganya. Kosong, hanya ada gudang mesiu. Namun, dunia bukanlah hanya sekedar kumpulan harapan. Dunia adalah tempat di mana kumpulan harap harus terpecah berantakan di depan kenyataan. Gudang mesiu itu dijaga ketat. Entah bagaimana para tentara Belanda ini bisa tahu gudang mesiu akan diincar oleh Tohar dan Ramadhan di malam itu. “ini pasti ada pengkhianat !” kata Tohar kepada Ramadhan sambil berbisik. “Pengkhianat ? Tohar, ini adalah daerah strategis militer, tentu mereka akan selalu menjaganya seperti itu !” kata Ramadhan sedikit marah. Tohar tidak menggubris.

“Sekarang, bagaimana cara masuk ke dalam gudang mesiu yang dijaga sangat ketat itu ?” gumam Tohar. Gumaman Tohar ternyata terdengar oleh Ramadhan. “Har, itu liat, ada sungai kecil. Mungkin itu sungainya sampai ke dalam gudang, mungkin itu saluran air yang seperti kata Pak Anwar –komandan mereka berdua-” kata Ramadhan sambil menunjuk sungai kecil yang memang mengalir ke arah gudang mesiu. “Hmm, itu satu-satunya air yang keluar dari gudang mesiu. Iya Dan, tidak salah lagi.” Kata Tohar yakin.

Tohar dan Ramadhan bergerak perlahan mendekati sungai itu, ternyata benar, sungai itu mengarah kepada sebuah gorong-gorong yang menganga di badan dari gedung mesiu itu. Mereka pun lalu menyusuri sungai itu. Pada saat itu mereka sadar, mereka harus membuang senjata mereka, harus membawa dan menjaga dinamit agar tetap kering sehingga dapat dipakai untuk meledakkan gudang mesiu itu. Tohar dan Ramadhan bersepakat, bahwa Tohar menjadi pembawa dinamit, dan Ramadhan menjadi penjaga Tohar. “yang menjaga, bisa lebih cepat mati, Tohar, apabila kamu terdeteksi oleh lawan, maka saya yang akan menghadapi mereka, kamu lari, lalu ledakkan dinamit itu. Aku akan mati beberapa menit lebih cepat darimu” kata Ramadhan. Tohar sudah tidak bisa berkata-kata. Sepertinya benar, ini akan menjadi misi bunuh diri. Seandainya mereka bisa meletakkan dinamit dengan selamat, mereka tidak bisa ambil resiko dengan membuat sumbu yang panjang. Akan mudah ketahuan. Apabila memakai sumbu pendek, maka mereka tidak bisa melarikan diri dengan cukup waktu. Dan misi ini, jauh lebih penting daripada hidup mereka. Misinya sederhana: “Hancurkan gedung mesiu Belanda.” Itu saja. Tak perlu kembali dengan selamat, yang penting gedung mesiunya hancur. Titik.

=============================================================================================

Seberapa pentingkah misi ini ? Tentunya penting sekali. Menyabotase suplai senjata adalah langkah penting dalam berperang. Tanpa senjata, tentara sekutu mau menembak pakai apa ? Toh kalau masalah keberanian, strategi, dan kegilaan, tentara Indonesia yang baru lahir pada masa itu jauh lebih gila. Keuntungan strategis yang akan didapatkan apabila misi ini berhasil akan sangat luar biasa.

=============================================================================================

Bandung, 23 Maret 1946, 2104

Tohar, Penyusup. Ramadhan, Jenazah.

Tohar berhasil masuk ke dalam Gudang mesiu Belanda. Punggungnya berlumuran darah. Tapi itu bukan darahnya, melainkan dalam rekannya, Ramadhan. Ramadhan memang benar-benar memegang janjinya. Ia tewas melindungi Tohar. Lebih dari itu, ia tewas terlebih dahulu. Tapi Tohar benci fakta bahwa sejauh ini Ramadhan selalu benar. Karena jika demikian, maka ia akan tewas sebentar lagi. Ramadhan berkata bahwa ia bisa gugur beberapa menit sebelum Tohar gugur. Ramadhan sudah gugur. Giliran Tohar.

Tohar berhasil memasuki ruangan yang penuh dengan bahan peledak. Dinamit, granat, bubuk mesiu yang masih mentah. Segala macam sudah ada di ruangan itu. Tohar cukup pintar untuk mengunci ruangan itu dari dalam. Dengan begitu, tak ada tentara Belanda yang bisa masuk ke dalam ruangan itu. Tohar terdiam, sementara itu derap langkah tetntara Belanda mulai mengisi lorong tempat ruangan itu berada. Ramadhan berhasil memberi Tohar ruang dan waktu yang cukup untuk lari dan masuk ke ruangan itu. Ketika memberi ruang dan waktu itu lah Ramadhan tewas tertembak. Kata-kata terakhirnya luar biasa, dan itu akan terngiang di kepala Tohar hingga akhir hayatnya –yang sebentar lagi. “TOHAR, KALAU DINAMIT ITU TIDAK MELEDAK, SAYA TUNGGU KAMU DI AKHIRAT !”.

Kali ini Tohar sudah siap. Ia akan meledakkan dinamit itu, beserta seluruh gudang mesiu milik Belanda ini. Ledakannya akan luar biasa, karena ledakan dari dinamit Tohar akan memicu ledakan gudang yang menuh dengan mesiu ini. Tohar memejamkan matanya. “Ini bukan demi Indonesia. Ini demi perjuangan yang sudah aku dan Ramadhan lakukan.” Begitu pikirnya. Dinamit itu ia nyalakan dengan sumbu pendek. Lalu, 5… 4… 3… 2… 1… semuanya memekak, terang, tapi lalu tiba-tiba menjadi gelap. Dalam sekejap gudang mesiu itu menjadi reruntuhan, dan Tohar, termasuk di dalamnya.

=============================================================================================

Pada akhirnya, kita tidak akan pernah tahu bukan, siapa berjuang untuk apa ? Bukannya tidak mungkin kalau Tohar dan Ramadhan memang berjuang untuk diri mereka masing-masing.

=============================================================================================

Bandung, 12 November 2015. 1100

Bima dan Fatia, Pengarang, Pasangan.

“Ini namanya jalan Mohammad Toha Mbak, itu rumahnya Reza di situ.” Kata Bima seperti tour guide yang sedang mengantarkan Fatia keliling Bandung. Rumahnya Reza ini bukan objek wisata memang, tapi rumah dari teman dekat Bima sendiri. Dan jalan Mohammad Toha ini adalah Tohar yang merupakan karakter dari cerita yang Bima karang pada 17 Agustus 2015. Tak lama, ada sebuah pemandangan yang cukup unik. Patung ikan. Fatia bertanya:

“Ini patung apa Mas ?”

“patung ikan Mbak”

“kok ?”

“nggak tau Mbak, aneh emang. Tapi ini adanya di Jalan Mohammad Ramdan. Yang ceritanya Ramadhan temennya Tohar itu”

“ooh…”

=============================================================================================

Pada akhirnya, aksi Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan menjadi sebuah legenda di kota Bandung. Aksi mereka seringkali dikaitkan dengan kisah Bandung Lautan Api, di mana para penduduk dan tentara kota Bandung membakar kota mereka agar kota mereka tidak bisa dijadikan keuntungan strategis untuk Belanda. Strategi yang gila memang, tapi karena data yang saya miliki sangatlah kurang, saya tidak bisa menilai apakah itu strategi yang gila namun brilian, atau hanya gila saja.

 

A Review on “China’s Soft-Power Push: The Search for Respect” By David Shambaugh

This article from Foreign Affairs Volume 94 Number 4 is also an interesting one. It talks about how China is starting to work their image in world politics as its global power grows. China have an impressive economic power, but their image is not so good among the eyes of the world, especially eyeing their repressive political system, and mercantilist business practices.

For me, as an Indonesian who studied Political Science for years, it is true. When I heard the word China, the first thing that come in mind is of course, communism. The CCP (Chinese Commust Party) has been the main major ruling party in China. So what ? Well, the image of the communist haven’t really recovered fully after the Cold War. All of the propagandas happened back there are still occuring UNTIL NOW. At least in Indonesia. You can’t speak about PKI (Partai Komunis Indonesia/Indonesian Communist Party) lightly in a public place, at least some people will bats their eyes on you. Communism was so disregarded here, up until the point you cannot use Chinese characters (kanji) on any publication here in Indonesia in the time of Soeharto. And that are a few reason why China have to works their image, at least for us Indonesian.

According to the article, the Chinese government splash tons of money to rebuild their image among the countries that have diplomatic relations with them (it means the whole world except those who decided to have a diplomatic relations with Taiwan due to the One China Policy). The media blitz in the time of Hu Jintao, but getting stronger in Xi Jinping’s time. He even said that he is going to make China a socialist cultural superpower. Cultural superpower. Sounds like the US with their Hollywood and stuffs.

The article said that China starts their soft power usage by constructing an alternative development scheme for the new emerging powers.  Those are the New Development Bank, the Asian Infrastructure Investment Bank, and the Free Trade Area of the Asia-Pacific. And China is backing them up with loads of money. China use their money to make a good image of them as some kind of a Santa Claus. But always remember, there is no such thing as a free lunch. But, this kind of soft-power usage is kinda “not touching” the grassroots. Maybe only those who cares about economy, international politics and development knows this kind of things.

To reach these grassroots level China uses their media to influence, to –again, provide an alternative aside the popular western media. China is penetrating their media trains through the CCTV (China Central Television) which now have a 24-hours English channel, and even broadcasted them in 6 different languages. This is one of the utilization of the soft power that can touch the grassroot level, because almost everyone (at least those who have TVs and Cables) can watch the CCTV among BBC (England), NHK (Japan), KBS (Korea), that (of course) providing anything good in accordance to each government’s interest. One of the thing that the article mention is: Propaganda is not a derogatory term in China.

On another front, another part of Chinese soft power is education. Nowadays, there are more people who studied Chinese. According to a survey conducted by the College of William and Mary, 40% of American researchers in International studies said that Chinese is the most valuable language to learn after English (this was on Charles King’s article in the same issue, talks about the decline of International Studies, you can see the review on my facebook page).  The Chinese government is happily spend their money for these people’s scholarship. Another thing is, they are opening the China’s Confucius Institutes that function the same as Goethe Institute for Germany, or British Council for the UK.

Another one, the most fun thing about soft power: promoting their cultural aspects. China might not have the NBA-class basketball team, or the BPL-class football league, but they are starting to be a fearsome opponent in the Olympic games. As an Indonesian, China is the strongest enemy you have to face in badminton. As a football fan, football clubs like Guangzhou Evergrande does ring a bell, because it was once managed by a world cup winning manager: Marcello Lippi. Aside of that, China’s 3000 years imperial story is a thing to be popularize. In Japan, there are many renditions of the Romance of the Three Kingdoms stories. The Last form of Chinese soft power that this article mention is the China’s host diplomacy, in which China is being a host of many international events such as the Beijing Olympic, the Boao Forum for Asia, the China Development Forum, the Beijing forum, etc.

The article said that in the end, after all those efforts, surveys are saying that the soft power bonanza haven’t really improve China’s image. Well, maybe it will take times. Even something as popular as Superman nowadays started in the 50s, right ? in the end, you cannot buy soft power, you to earn it. And it will comes when you let your best people allowed to reach other people in other country. Like… Ai Weiwei, perhaps ? (I know he’s critical to the government though).

Bunga-Bunga Yang Dipetik

Aku berjalan pelan ke arah toko buah di sudut jalan Trunojoyo. Masih mengantuk. Tadi malam baru tidur pukul 4 pagi. Seperti biasa, menonton pertandingan sepak bola. AC Milan melawan Chelsea di Liga Champions. 3-0, menang Chelsea. Menyebalkan. Untung ini masih fase grup, jadi aku masih bisa melihat Milan kesayanganku main untuk beberapa pertandingan lagi. Untungnya Milan masih berada di posisi kedua, di bawah Chelsea, di atas FC Basel dan Shakthar Donetsk. Masih besar lah peluang mereka untuk lolos.

Kelopak mataku masih sangat berat. Serasa ada dua orang bergantung di kiri dan kanan mataku, Goliath di kiri dan Jalut di kanan. Keduanya sosok yang sama dari dua cerita yang sama dari sudut pandang yang sama, namun dalam bahasa dan kultur yang berbeda, namun berakar sama. Ah tidak pentinglah itu. Yang pasti mereka sama-sama cukup besar untuk membuat kelopak mataku berat. Sambil berjalan lunglai dari rumah nenekku yang tidak jauh dari situ, aku membayangkan pertandingan semalam. Seandainya saja De Sciglio tidak dikartu merah dan memberi Chelsea penalti, petandingan akan berjalan leb…. TEEETTTTTTTTT… tiba-tiba ada suara klakson mobil menyambar dari belakang. Angkot. Aku hampir tertabrak.

Rek paeh sia goblog !?” mau mati kamu goblog ? begitu kata supir angkot berteriak kepadaku. “Punten Pak, can kawin keneh yeuh !” Maaf pak, saya belum kawin, jawab aku setengah bercanda, setengah mengantuk. Kalau aku tidak mengantuk, jawabanku pasti sepenuhnya mengamuk. Kutonjok supir angkot itu biarpun aku yang salah. Ah sudahlah.

Aku kembali berjalan ke trotoar. Seperti biasa, aku memakai jaket hitam dengan tulisan S.H.I.E.L.D dan bergambar tiga ekor anjing, bertuliskan “Hound of Justice” –jaket hoodie asli produksi WWE, celana pendek cokelat yang memiliki banyak saku. Praktis, segala macam bisa masuk ke dalamnya. HP, kunci rumah nenek, kunci mobil, dompet, bon-bon belanja, dan tisu bekas buang ingus. Hanya ke toko buah saja tidak perlu rapih-rapih amat lah. Dengan rambut potongan tipis ala Angkatan Darat, aku terlihat seperti tentara yang sedang desersi.

Kembali berjalan, aku sudah lupa akan pertandingan semalam. Aku sudah bisa melihat plang toko buah itu. Yang ada di kepalaku sekarang adalah buah apa yang harus aku beli. Aku harus memikirkan baik-baik, ini bukan untukku, ini untuk Rasya, temanku yang sedang terbaring lemah di rumah sakit. Tiga bulan lamanya ia terbaring di sana, menjalani kemoterapi. Pasti menyakitkan. Tapi aku yakin, Rasya adalah perempuan yang kuat, ia bahkan rela memotong rambutnya sendiri. Pertanda ia siap menjalani kemoterapi yang pastinya akan menghabisi rambutnya mau tidak mau, rela tidak rela.

Membeli buah adalah sebuah gestur baik yang melambangkan bagaimana seseorang peduli dengan orang yang ia jenguk. Suka tidak suka orang itu dengan buah, dimakan atau tidak, yang penting beli buah, lalu kasihkan ke yang menjaga di ruangan. Sebuah gestur saja, menggambar itikad baik. Tapi berbeda dengan Rasya. Rasya suka buah-buahan. Dulu di kampus, Rasya selalu rajin membawa buah-buahan. Apapun itu, pisang, salak, apel, pir, belimbing, sepertinya segala macam buah yang dijual di supermarket, pasar, dan toko buah pernah ia bawa ke kampus. “Ris, sekali-kali coba deh ini makan buah, aku bagi nih”, begitu kata Rasya sambil menyodorkan buah yang sudah ia potong kepadaku. Rasya berbeda denganku yang selalu jajan di kantin kampus. Pencuci mulutku adalah bakso goreng dengan saus merah yang tidak jelas dari mana asalnya, dan/atau kue soes yang manis.

“Nggak mau Sya, apa enaknya sih buah-buahan ? Aneh tau” aku selalu menjawab seperti itu setiap kali Rasya bertanya. Tapi Rasya tidak pernah bosan mengulangnya setiap kali kami makan di kantin bersama. Jika sudah menawarkan padaku, ia akan menawarkan ke teman yang lain. Ada Ibnu, Julian, dan Della. Berbeda denganku, mereka akan menerimanya dengan senang hati. Julian memang suka buah-buahan, Ibnu pemakan segala, apabila setan bisa kelihatan, aku yakin setan juga akan dia makan, sedangkan Della, Della terlalu baik untuk bilang tidak. Karena itulah ia selalu mendapatkan nilai jeblok ketika ujian lisan.

“Della, apa benar Soeharto sekarang masih presiden Indonesia ?”

“ii.. iya, Pak !”

Ah, tidak, aku bercanda. Della memang kurang pintar dalam sisi akademis, tapi ya begitulah. Della adalah manusia paling baik di muka bumi yang selalu menjaga perasaan temannya. Karena itu ia tidak pernah bilang tidak kepada Rasya. Pernah suatu saat Rasya membawa roti dengan selai kacang. Entah kenapa hari itu Rasya tidak memakan makanan sehat. “Sekali-kali” katanya. Della yang ditawarkan roti itu, tidak bisa bilang tidak, ia memakannya walau tahu ia alergi kacang. Della pingsan, hingga membuat kami panik dan membawanya ke klinik. Ah Della.

Sesampainya di toko buah, aku sudah memantapkan pilihanku. Belimbing, apel, dan Jeruk. Ketiganya aku belikan untuk Rasya, Masing-masing dua saja. Karena jika terlalu banyak nanti membusuk. Mubazir. Aku juga tidak perlu merangkainya menjadi parcel, cukup begini saja. Lebih mudah dibukanya, tidak makan tempat. Ayolah, ini mau menjenguk pasien di rumah sakit, bukan mau mendatangi rumah orang yang sedang lebaran.

Sesudah membeli buah, aku kembali berjalan pulang ke rumah nenek. Rencananya, aku akan mengajak Ibnu untuk menjenguk Rasya bersama. “Nu, urang –gue dalam Bahasa Sunda- udah beli buah buat Rasya, mau bareng ke Rasya-nya ?” tanyaku.

“ya boleh lah, bentar ya, urang mandi dulu, urang ke tempat maneh –lo dalam Bahasa Sunda-” apa maneh ke urang nih ?”

“urang ke maneh aja deh, langsung cabs sekarang nggak apa-apa kan ?”

“nggak apa-apa, urang mandi cepet da”

“oke”

Aku langsung mengeluarkan kunci mobilku yang sudah kubawa dari tadi. Buah yang tadi aku beli, aku simpan di jok belakang Honda Jazz warna biruku, keluaran tahun 2012. Biar begitu, mesinnya masih segar. Masih bisa ngebut. Sudah penyok sana-sini karena dulu pernah dipakai Della dan Julian belajar menyetir. Keduanya memang tidak memiliki reflek yang bagus. Itu salah satu kekurangan Della. Kalau Julian, matanya memang agak-agak. Terlalu banyak baca, tapi malas pakai kacamata. Jadi ya begitulah. Tapi biar begitu, Julian adalah yang paling pintar di antara kami. IPKnya nyaris 4. Andai saja di mata kuliah Keamanan Global ia tidak salah melingkari Lembar Jawaban Komputer ketika Ujian Akhir Semester. Lagi, itu karena ia malas pakai kacamata. Hebatnya Julian, walaupun nilai UASnya 0 (berarti jawabannya salah semua, di mana semestinya benar semua, karena Julian menggeser 1 jawaban, A jadi B, B jadi C, C jadi D, D jadi E, dan E diisi di ruang kosong di sebelah E), ia tetap mendapat nilai C. Itu berarti nilai lainnya nyaris sempurna. Luar biasa memang Julian ini.

Mesin mobil aku starter, lagupun mengalun. Aku tidak terlalu peduli lagu apa yang diputar. Tidak ada sedikitpun nafsu mendengarkan lagu. Biasanya aku memutar lagu-lagu kekinian. Top 40 lah, Bahasa Gaulnya. Tapi sekarang tidak. Jadi aku memutuskan mendengarkan raungan AC saja. Dalam 10 menit aku sampai di rumah Ibnu. Rumah nenekku dan rumah Ibnu memang berdekatan. Rumah sakit di mana tempat Risya menginap pun tidak terlalu jauh dari tempat kami tinggal di Bandung ini. Sesampai di rumah Ibnu, ternyata Ibnu sudah menunggu di teras. Benar, ia Cuma mandi 5 menit saja sepertinya. Seperti biasa, kaos band metal dengan tulisan yang tidak bisa aku baca, dengan celana jeans yang sudah entah berapa lama tidak dicuci. Tak apalah, itulah Ibnu.

Ibnu adalah orang yang hidupnya paling urakan diantara kami. Anak band ceritanya. Tapi sebenarnya anak mamih. Jadi ia bermain band untuk gagayaan saja. Prestasi akademisnya pas-pasan. Kataku pas-pasan ini benar-benar pas-pasan untuk bisa tetap berkuliah di kampus kami sekarang. Beberapa kali terancam DO, tapi tetap selamat, karena ya itu, nilainya pas-pasan. Ibnu tidak memiliki pemikiran yang cukup baik untuk menjadi seorang akademisi. Namun, mental bisnisnya luar biasa. Ia pernah berhasil menjual donat yang satu kotaknya seharga 80 ribu, ditambah modal lainnya untuk memodifikasi donat itu, sehingga total modal 100 ribu, untuk menghasilkan keuntungan sebaganyak 200 ribu. Luar biasa. Ia memiliki kafe yang bisa menjual gado-gado dengan resep dari ibunya seharga 60 ribu rupiah perporsi. Ia menyebutnya Javanese Salad With Peanut Sauce and Fried Crackers Infused With Shrimp Flavors. Kafenya laku keras di kalangan ekspatriat.

Aku langsung membunyikan klakson mobilku, Ibnu dengan sigap berdiri, lalu langsung naik ke dalam mobil. “Anjir, maneh kayak cowok panggilan Nu” kataku bercanda sambil menaikkan alisku.

“Ah maneh” katanya sambil meninjuku.

“bukannya maneh sering panggil urang ? Biasanya juga delivery aing via Go-Jek kan ?”

“hahaha taeeeeeekkkk” kataku sambil tertawa membalas candanya.

Kami bertukar kabar. Sudah sekitar 1 bulan kami tidak bertemu. Maklum, aku sudah memasuki fase menulis skripsi, sedangkan Ibnu masih sibuk kuliah dan menjalani bisnisnya. Alhamdulillah laris manis. Lalu kami mulai membicarakan hal yang sebenarnya malas kami bicarakan, tapi harus.

“Nu, maneh udah ke makam Julian sama Della lagi ?”

“belum euy Ris, urang sibuk pisan, maneh udah emang ?”

“udah agak lama sih, pas abis lebaran lah”

“wah, udah 1 bulan setengah ya ?”

“iya”.

“duh, kayaknya urang harus ke sana juga deh, kemaren Julian sama Della muncul di mimpi urang lah, kangen ceunah –ceunah: katanya, Bahasa Sunda-.”

“ya udah atuh, balik dari nengok Rasya, urang temenin”

Ibnu lalu melihat jam tangannya.

“hmm. Ya, boleh deh, hayo lah, kapan lagi soalnya bisa nyekar ke makam mereka”

Makam Julian dan Della berada di tempat yang berbeda. Julian berada di pemakaman Kristen yang berada di pinggir jalan Pasteur, sedangkan makam Della ada di pemakaman umum di dekat bandar udara Husein Sastranegara. Berdekatan sih lokasinya. Tapi susah parkir. Tapi ya sudahlah, dipikirkan nanti, yang penting sekarang jenguk Rasya dulu. Di perjalanan yang hanya 20 menit, karena jalanan kosong, karena ini masih jam 10 pagi, tak banyak kabar bertukar dari kami, karena kami memang sering bertukar kabar lewat berbagai macam jejaring sosial.

Julian meninggal 1 tahun yang lalu, ia dibunuh dengan keji oleh seorang biadab di dekat rumahnya. Ia dijambret, namun ia tidak mau melepaskan tasnya yang berisi laptop yang di dalamnya berisi data-data skripsinya yang sudah rampung. Tinggal sidang. Ia mempertahankan sisa hidupnya, dan hasil perjuangan hidupnya hingga titik darah penghabisan. Titik darah di ujung golok si bedebah itu. Sampai sekarang pelakunya belum tertangkap, semoga suatu saat bisa tertangkap dan diadili seadil-adilnya. Jika kurasa hukumannya kurang adil, biar aku sendiri yang mengadilinya kelak. Aku janji.

Sedangkan Della, Della meninggal 2 tahun yang lalu. Waktu itu Della “dipaksa” pacarnya untuk ikut kegiatan naik gunung, padahal, waktu itu Della baru selesai bertarung dengan Ujian Akhir Semester lisan yang memaksanya untuk tidak tidur selama beberapa hari. Melahap bahan bacaan yang banyaknya luar biasa. Della tetaplah Della, ia tidak bisa bilang tidak. Ia memaksakan diri untuk naik gunung, melemah, dan meninggal dunia di Gunung Ciremay. Sampai detik ini, baik aku, Ibnu, dan Risya, tidak bisa memaafkan pacar Della yang memaksanya mendaki Gunung Ciremay. Ia tidak tahu dan tidak mau tahu bagaimana gilanya perjuangan Della di waktu itu. Julian pun membawa kemarahan itu hingga ke liang kuburnya. Menyedihkan, menyeramkan, sedikit indah. Itulah persahabatan kami.

Akhirnya kami sampai di Rumah Sakit. Rasya dirawat di kamar 1304 di lantai 13 rumah sakit ini. Entah kenapa Rumah Sakit ini memiliki lantai 13, karena biasanya lantai 13 ditiadakan. Untuk menghindari orang-orang yang percaya mitos angka 13. Namun pemilik serta perancang rumah sakit ini luar biasa; mereka tidak peduli, karena mereka percaya, kebutuhan orang akan kesembuhan akan mengalahkan mitos yang tidak jelas itu.

Sesampai di kamar Rasya, kami kaget. Kamarnya kosong, hanya ada alat-alat medis, selang-selang berjuntaian di lantai. Tempat tidur Rasya tidak ada. Di sofa, ada tas ibu-ibu tergeletak. Aku yakin itu punya ibunya Rasya. Jantungku langsung berdegup tidak karuan. Aku ingin muntah. Ini perasaan kaget yang teramat sangat yang membuatku tercekik hingga ingin mengeluarkan isi perutku. Ibnu terdiam. Matanya terpaku kepada ruang kosong di kamar 1304, di tempat semestinya tempat tidur Rasya berada. Tak perlu berkata apapun kami tahu. Kondisi Rasya sedang gawat. Mungkin ia sedang dibawa ke ruang ICU. Mungkin. Tapi aku coba berpikir positif. Mungkin ia sedang dikemoterapi. Tetapi jika demikian, mengapa tas ibu Rasya masih ada di situ, tergeletak, dan alat-alat medis ini seperti dicabut dengan paksa. Aku terdiam.

Tak lama, ada suster yang melewati ruangan. Aku bertanya kepada suster itu. Ternyata benar, kondisi Rasya gawat, dan ia sedang dibawa ke ruang ICU. Mereka sedang mencoba menyelamatkan Rasya. Ternyata Rasya sempat dioperasi pagi ini. Untuk mencoba mencegah penyebaran kankernya katanya. Aku tidak mengerti prosedurnya, tapi begitulah. Aku lalu terduduk, menepuk pundak Ibnu yang menyembunyikan wajahnya di balik tangannya yang sudah penuh dengan air mata. Ibnu dan Rasya akan menikah dalam 1 bulan lagi. Kedua orang tuanya sudah setuju, walaupun Ibnu belum lulus kuliah, dan Rasya baru kerja 1 tahun di bank swasta, mereka sudah merasa matang. Ibnu sukses dengan bisnisnya, dan Rasya merasa nyaman dengan tempat kerjanya. Ketika aku suruh mencoba mendatangi keluarga Rasya di ruang operasi, ia tidak mau, ia menjawab “tenang Ris, urang yakin Rasya bakal ke ruangan ini lagi, makannya keluarganya belum ngabarin urang juga, tenang aja” kata Ibnu sambil sesenggukan. Aku tidak tahu sehancur apa perasaan Ibnu. Tapi aku tahu perasaan Rasya. Aku tahu sakit yang diderita Rasya.

Aku tertegun kepada selang infus yang tergeletak di lantai kamar 1304. Aku ingat bagaimana rasanya ujung jarum dari selang itu masuk ke pembuluh darahku. Rasa sakit itu tidak akan pernah aku lupakan. Entah berapa kali aku muntah-muntah setelah cairan kimia pembunuh kanker masuk ke dalam tubuhku. Aku tahu sakitnya menjadi Rasya. Tapi tenang saja Rasya, aku selamat, kamu juga pasti bisa. Kamu kuat, kamu punya Ibnu. Ia juga akan selalu mendukungmu, aku yakin. Kamu juga punya aku, sahabatmu. Sahabatmu yang kamu dukung ketika harus menjalani kemoterapi, sahabatmu yang kamu suapi buah-buahan di rumah sakit. Aku mau jadi sahabat yang seperti itu.

Tak lama kemudian, Ibu Rasya masuk ke ruangan. Matanya sudah basah bersimbah air mata. Ia memeluk Ibnu dengan erat. Aku tahu akhir dari cerita ini. Aku tahu, akan banyak yang bilang “orang baik meninggal muda”, atau “bunga yang terindah di kebun pasti dipetik pertama.” Ah aku sudah kenyang mendengarnya. Ketika Della meninggal, ketika Julian, dan kelak ketika Rasya meninggal.

Jika memang demikian. Aku bukan orang baik. Aku bukan orang yang cukup baik untuk Tuhan. Karena itu Ia tidak mengambilku dulu. Ia memilih Della, Julian, Rasya karena bagi-Nya, mereka adalah bunga yang indah. Sedangkan aku, ya, aku adalah bunga yang seperti rumput, tak terlihat, mudah terinjak, ada di sudut gelap kebun bunga. Tidak ada yang mau memetikku kecuali mereka yang sedang iseng duduk berteduh di bawah pohon pinus yang berada di tengah-tengah taman bunga. Mereka memetikku, memotong batangku, menyobek kelopaknya, dan membuangnya ke tanah. Sedangkan Rasya, mereka memetiknya, menyimpannya di vas bunga, hingga ia layu kelak. Ia mati dalam air, sedang aku mati terinjak di atas tanah. Aku bukannya tidak menghargai hidupku, tapi… tapi…

Jika memang bunga terbaik yang dipetik, siapa yang menikmati bunga itu ?

Karena yang aku lihat, air mata yang menitik, dan mulut yang tertitik.

Seandainya ada senyum, itu senyum sedih melepas pedih.

Apa bunga yang dipetik berharga untuk mereka di atas sana ?

Karena sekarang, kebun yang ada sudah berubah menjadi tundra.

A Little Update on Life: Tomato

Hiiii.. it has been awhile since I wrote for my blog. I’ve been quite busy with my life. End of semester papers, thesis, a trip to Japan, and most importantly, welcoming someone new to my life. Someone so special. Someone who made me say “you don’t have to say ‘have a nice dream’ to me anymore. Just say ‘see you tomorrow’, so that tomorrow will just come quicker. Since when you’re there in my life, it can’t outbest even my best dream.”

So, yes, my quick update would be: “Welcome to my life, Tomato. Let’s enjoy this trip together.”