Karya kontroversial yang baik adalah karya yang bersifat multiperspektif. Kata siapa ? Kata saya. Kenapa ? Karena dengan multiperspektif, kita dapat melihat sesuatu dengan lebih objektif, dengan menggunakan banyak pandangan, nantinya lingkaran-lingkaran ‘fakta’ yang dikemukakan oleh orang-orang dari perspektif yang berbeda, akan saling beririsan, dan irisan tersebut adalah suatu fakta yang bisa dibilang lebih objektif. Film ini adalah karya luar biasa yang menyediakan berbagai macam perspektif tentang kejadian kelam di Indonesia pada 1965. Mengulang kembali kalimat pertama, saya juga akan mencoba me-review film ini dengan pandangan multiperspektif, karena jujur, bagi saya, ada ganjalan-ganjalan untuk berkata “iya, para pembunuh ini salah, benar-benar salah”, dan juga, saya mencoba menghindari pandangan yang dikotomis antar benar-salah, hitam-putih, PKI-pembunuh (PKI).
Kali ini Joshua Oppenheimer membawa kita ke kisah seorang Adi. Ia adalah seorang pria yang sedang menapaki usia menuju paruh baya. Ia sudah berkepala empat. Memiliki dua orang anak yang lucu, setidaknya dua anak ini yang muncul di film Senyap. Anak yang pertama sedang mengenyam pendidikan SMP, sedangkan anak keduanya masih kecil, mungkin SD, tapi ia sedang senang-senangnya bermain. Adi adalah tukang kacamata keliling –walaupun tidak diceritakan secara gamblang (dengan pernyataan), tapi setidaknya, itulah yang saya tangkap dari film ini-. Apa yang membuat Adi ‘istimewa’ sehingga kisahnya difilmkan oleh Joshua Oppenheimer adalah masa lalu yang menimpa keluarganya: kakaknya, Ramli, adalah korban pembantaian yang dulu dilakukan terhadap orang-orang yang dicurigai menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia. Mengenai pembantaian ini, benar atau tidaknya, tidak akan saya bahas di sini, anda bisa lihat di majalah Tempo edisi khusus tentang pengakuan para Algojo PKI edisi Oktober 2012, atau bisa juga mengunduh sumber-sumber dengan standar akademis yang luar biasa baik dari situs resmi film Senyap di sini (di bagian bacaan). Namun, apapun latar belakangnya, pembantaian itu ada, dan terjadi.
Kembali ke film. Keluarga Adi hancur setelah kematian Ramli. Ayahnya nyaris gila, begitu juga dengan ibunya. Rasa kehilangan terhadap Ramli, ditambah cara kematian Ramli yang sangat sadis, dan berada pada dua fase, di mana fase pertamanya, apa yang diterima oleh Ramli dilihat oleh Ibu dan Ayahnya. Ramli ditusuk punggungnya, dibelah perutnya hingga ususnya keluar, namun, entah dengan kekuatan apa, Ramli berhasil melarikan diri hingga sampai ke rumahnya. Di rumahnya, ia bertemu dengan ibunya yang melihat kondisi anaknya yang sangat memprihatinkan. Orang tua mana yang tidak nyaris gila melihat anak lelaki satu-satunya (waktu itu Adi belum lahir) datang ke rumah, berlumuran darah, dengan usus terburai dari perutnya ? Kiranya, begitulah gambaran dari hari-hari terakhir Ramli di rumah bersama ayah dan ibunya. Keesokan harinya, ada orang-orang yang ‘menjemput’ Ramli, mengaku akan membawanya ke rumah sakit. Namun, yang aneh, ibu Ramli tidak diperbolehkan untuk menghantarkan anaknya yang (dengan logika saya, walaupun tidak punya dasar ilmu kedokteran) mungkin saja tidak bisa terselamatkan lagi. Bayangkan saja, usus anda sudah terburai, dengan situasi tidak steril. Ternyata, Ramli dibawa ke ladang pembantaian di Sungai Ular. Di sana, ia dihabisi oleh dua orang Algojo (ah sial, saya lupa namanya, saya tidak sempat mencatat karena gelap fokus menonton, serta tulisannya terhalang oleh kepala orang di depan YANG TERTIDUR).
Film ini sendiri berkisah tentang perjalanan Adi mencari kebenaran. Ia mengunjungi para orang-orang yang terlibat dengan pembantaian orang terduga PKI, menanyai mereka tentang apa yang sebenarnya terjadi, sebelum mengeluarkan sebuah ‘mantra’ yang sepertinya dapat menggetarkan jantung para pembunuh ini: “Abang saya termasuk orang yang dibunuh pada waktu itu”. Banyak dari mereka yang tidak mau tahu, ada juga yang menjawab “ini demi bela negara” (paman dari Adi sendiri, saya jadi ingat konsep Banality of evil dari Hannah Arendt, di mana tindakan keji seseorang terjadi bukan karena mereka keji, tetapi karena mereka cukup ‘bodoh’ untuk menerima tindakan keji mereka adalah sesuatu yang memang dibenarkan oleh negara), ada juga yang marah, emosi, dari matanya, bisa dilihat, itu adalah sebuah kemarahan terhadap diri sendiri. Kemarahan terhadap kebodohan di mana kebanggaan yang mereka agungkan adalah sebuah kesalahan fatal (walaupun ada yang tetap tidak mengakui bahwa perbuatan mereka itu salah). Namun, nasi sudah menjadi bubur, kebanyakan dari mereka hanya mempunyai 3 pilihan: beralasan bela negara, melupakan dan menutup rapat-rapat, serta mengakui kesalahan itu dan meminta maaf. Dari semua orang yang Adi temui, ada 3 macam tipe tersebut. Mereka yang menggunakan alasan bela negara adalah paman dari Adi sendiri (yang tentunya paman dari Ramli) serta seorang anggota DPR, mereka yang melupakan dan menutup rapat-rapat adalah keluarga dari pembunuh yang sudah meninggal dunia (namun, si pembunuhnya sendiri tidak menyesal, terlihat dari video-video ‘rekonstruksi’ pembunuhan serta ‘buku sejarah’ yang dengan bangganya mereka pamerkan), dan mereka yang mengakui kesalahan adalah keluarga mereka yang meminum darah dari korbannya agar tidak gila.
Di awal tulisan ini, saya menyatakan bahwa film kontroversial yang baik adalah yang menyajikan berbagai macam perspektif. Film ini kontroversial, jelas, PKI sampai sekarang masih merupakan sebuah hal yang menyeramkan untuk dibicarakan. Ketika menulis ini pun saya masih ragu apakah tulisan ini akan saya unggah ke blog pribadi saya atau tidak. Selain itu, di beberapa daerah di Indonesia, ada pembubaran acara pemutaran film ini. Berkaitan dengan film ini, ada juga sebuah bagian di mana di sekolah SMP anak Adi, sedang diajarkan pelajaran sejarah, berkenaan dengan yang kita kenal sebagai “G30-S PKI” (yang konon sudah direvisi menjadi G30S, tapi isinya itu-itu juga). PKI digambarkan sebagai kelompok yang kejam, menculik jenderal, menyileti –atau memisau-Inggris-i- wajah para jenderal, mencongkel matanya, dan lain-lain, pokoknya terdengar seperti adegan dalam Grotesque, film karya Koji Shiraishi. Namun, tentunya itu tidak berimbang. Tidak diceritakan kisah Ramli dan orang-orang yang senasib dengannya. Kontroversial memang partai yang satu ini.
Perspektif yang diambil dalam film ini adalah perspektif dari Adi sebagai seorang adik yang mencari kebenaran demi kakaknya, ayah dan ibu Ramli (dan Adi) sebagai korban yang ditinggal oleh anak laki-lakinya (yang keduanya nyaris gila, seandainya Adi tidak lahir 2 tahun setelah kematian Ramli), Adi sebagai seorang ayah yang mencoba mengajarkan anaknya tentang ‘kebenaran sejarah’ (yang dikemas dengan sangat baik sekali dalam sebuah adegan obrolan antara Adi dan anak laki-lakinya yang SMP, yang baru pulang sekolah setelah pelajaran sejarah tadi), ada juga perspektif dari Kemat, seorang penyintas (survivor) pembantaian, serta perspektif dari para pembunuh yang sudah saya sebutkan sebelumnya, mereka yang bangga, mereka yang membela negara, mereka yang lupa, hingga mereka yang menyesal. Dari pandangan mereka, kita bisa membayangkan apa yang terjadi. Ada mereka yang memang bangga, ada mereka yang ‘terpaksa’, ada mereka yang menyesal namun tidak mau mengakui, ada juga mereka yang terkaget-kaget menyesali ketika mengingat apa yang terjadi sehingga mereka meminta maaf.
Joshua Oppenheimer memiliki pandangan tersendiri terhadap situasi politik di masa itu. Ini tercermin dari subtitle Bahasa Inggris yang disajikan oleh tim pembuat film (saya rasa subtitle di film Senyap yang saya tonton adalah subtitle resmi) di mana ketika ada yang menyebut kata ‘orde baru’ diterjemahkan sebagai dictatorship. Selain itu, pada narasi di awal, kejadian tahun 1965 mereka sebut dengan “Penggulingan pemimpin negara oleh militer”, dengan kata lain, kudeta.
Ketika menonton film ini, saya sendiri mencoba memakai dua pandangan, terutama terhadap para pembunuh. Pandangan pertama, pembunuh ini memang salah. Keluarga Adi adalah korban, sehingga bisa dibilang ‘benar’. Merekalah protagonisnya. Protagonis ini menuntut keadilan yang bisa dibilang bukan keadilan yang ada pada ranah hukum. Karena mereka sendiri mengakui, mereka sudah melewati fase yang bernama dendam. Ini tidak akan bisa dimengerti oleh mereka yang belum perah mengalami kehilangan yang amat sangat dahsyat. Mereka hanya menuntut kebenaran, dan apabila memungkinkan, secuil kata maaf. Mungkin apabila ditonton ‘begitu saja’, itulah pandangan yang muncul.
Namun, bagi saya, inilah perspektif kedua, sekaligus perspektif utama saya; Keduanya adalah korban. Korban dari sistem yang sangat jahat yang dipraktekan oleh ‘mereka-mereka’ di pemerintahan pada masa itu. Jelas Joshua sendiri menganggap sistem itu sangatlah jahat, tanpa ragu-ragu ia menyebutnya sebagai rezim diktator (dari subtitle tadi) serta pengambilalihan kekuasaan secara paksa (dengan menyebut kudeta) dan juga dalam satu bagian dari film mengakui adanya peran Amerika Serikat dalam menyebarkan paham anti-komunis. Ini adalah bagian dari containment policy mereka. Namun, dalam film ini apabila disaksikan tanpa narasi dan tanpa diskusi, sangat memungkinkan untuk menggiring ke pemahaman bahwa pembunuh-pembunuh inilah yang brengsek (karena sangat sedikit sekali bagian yang mengatakan bahwa pemerintah terlibat dalam pembantaian tersebut, ada satu bagian yang menyebutkan bahwa tentara adalah backing-an dari para pembunuh ini). Tetapi saya sendiri tidak menyalahkan Joshua, memang butuh waktu, nyali, dan koneksi lebih untuk menggali jauh lebih dalam ke arah sana. Namun, sekali lagi, dari sorot mata dan respon para pembunuh, kita juga bisa melihat ada bagian dari kehidupan mereka yang menghilang. Menghilangkan nyawa seseorang bukanlah perkara yang mudah. Okelah mereka lepas dari jeratan hukum dunia, namun saya yakin jauh di dalam sana, terpancar dari sorot mata mereka, ada ketakutan tersendiri tentang apa yang mereka hadapi kelak, entah di akhirat atau di kehidupan selanjutnya, yang pasti, kedatangan Adi membuat mereka bagai bertemu dengan hantu dari masa lalu.
Jikalau begitu, siapakah yang (seharusnya) menjadi antagonis dalam film ini ? Ya tentunya mereka yang menjadikan pembantaian yang terstruktur, massif, dan sistematis ini menjadi sesuatu yang didorong oleh ‘people power’. People power yang menyeramkan. Untuk siapa-siapanya, bisa anda ‘tanyakan’ kepada John Roosa melalui bukunya yang link unduh gratisnya sudah saya sertakan di atas.
Secara keseluruhan, film ini adalah film yang sangat bagus. Menggugah emosi dan kemauan untuk berpikir. Disisipi juga sedikit ‘komedi’ gelap, seperti ketika salah seorang pembunuh menceritakan ada pembunuh lainnya yang menjadi gila, lalu sering memanjat pohon kelapa dan adzan di atasnya. Iya, itu menyedihkan, tapi entah kenapa, membayangkannya saya malah tersenyum menahan tawa. Ada juga adegan yang sangat menyentuh ketika Ibu Ramli memeluk Kemat, seorang penyintas dari pembantian tersebut memeluknya sambil menangis dan berkata “kamu selamat…”. Mungkin dalam hati Ibu Ramli, ia berkata “mengapa bukan anak saya yang selamat ?” sambil memeluk Kemat. Film ini sendiri cocok dengan ‘selera’ saya yang sejak Sekolah Dasar memang sudah meragukan keabsahan kisah G-30-S PKI yang acapkali diputar di hari Kesaktian Pancasila. Mempertanyakan kebenaran, itulah yang disajikan oleh film ini. Kesimpulannya sendiri tidak muncul di film, tapi muncul dalam pikiran para penonton. Dan kesimpulannya akan berbeda.
Mungkin ini yang baru saja diterangkan di kelas Perbandingan Budaya yang saya ambil tadi siang, berkenaan dengan definisi Kebudayaan oleh Pierre Bourdieu: kebudayaan adalah cara dari seseorang untuk memaknai sesuatu. Selain itu, kebudayaan itu dinamis dan relatif, bahkan dalam kumpulan orang yang ‘berkebudayaan’ sama. Jadi, bisa anda bayangkan bukan, betapa kompleksnya kondisi politik Indonesia di pertengahan 1960an melalui film ini ?