Hole

I’m peeking through a hole
I’m trying to take a stroll
In that hole
In a whole

A hole of memory
It is all blurry
Nothing I can see
No matter how I stare endlessly

A hollow space without a trace
A nothingness living in the darkness
Like a starless sky
It dies.

Suatu Hari

Satu Hari Saja

Alan Moore pernah berujar, melalui salah satu karakter komik yang paling mahsyur yang muncul dalam novel grafisnya yang melegenda: All it takes is one bad day to reduce the sanest man alive to lunacy.” “Yang dibutuhkan hanyalah satu hari untuk mengubah orang paling waras sedunia menjadi sebuah kegilaan.” Sebuah kutipan yang luar biasa. Menggambarkan proses bagaimana Joker menjadi Joker yang kini dikenal orang banyak. Yang gila. Hanya satu hari buruk, buruk sekali. Mencoba merampok, gagal, masuk ke dalam cairan kimia, menjadi gila. Semua terjadi hanya dalam sepersekian detik, dalam sebuah hari yang buruk. Sebuah kejadian kecil yang sebentar, tapi mengubah hidup banyak orang. Heath Ledger memutuskan untuk mati. Konon, salah satu pemicunya adalah ketika ia menyendiri di sebuah kamar hotel selama berbulan-bulan untuk mendalami karakter Joker.

Dari gambaran itu, hanya dibutuhkan sebuah kejadian kecil saja untuk mengubah hidup seseorang. Dan tentunya, itu akan mempengaruhi orang di sekitarnya. Mungkin jarang kita pikirkan, bagaimana manusia saling mempengaruhi satu sama lain. Bagaimana manusia saling berkaitan satu sama lainnya. Bagaimana manusia adalah individu dalam sebuah sistem yang bergerak bersama-sama. Manusia adalah sebuah geligi bagi manusia lainnya. Satu berubah, semua bisa berubah. Tergantung pada geligi mana mereka bergantung.

Dendi tidak pernah menyangka, bahwa dari sebuah pertemuan yang tidak sengaja, akan bisa mengubah diri dan sekitarnya. Ia tidak pernah berpikir sebelumnya, bahwa sebuah pertemuan adalah titik akhir sekaligus titik awal dari kehidupannya.

“Den, hitung-hitungan yang kemarin sudah beres ?” Kata bosnya. “Sudah tuh Pak, di meja bapak dari tadi pagi, mungkin ketumpuk dokumen lain.” Kata Dendi, ia tidak melihat bosnya. Matanya memandang sebuah artikel koran tentang pembunuhan seorang nenek yang dilakukan oleh cucunya. Motifnya karena si cucu butuh uang untuk membeli narkoba ketika ia sedang sakau. Sebuah kisah tipikal kriminal di Indonesia. Dendi membacanya karena ia tidak tertarik menatap mata bosnya, baginya, berita kriminal yang membosankan lebih menarik daripada menatap mata orang lain.

Dendi, 27 tahun, akuntan muda yang paling dipandang di kantornya. Bekerja pada sebuah akuntan publik yang memuncaki tangga nomor 4 sebagai perusahaan jasa paling top di dunia, ia menjadi kartu as untuk perusahaan jasa itu. Semua orang selalu mengelu-elukan pekerjaannya. Tidak pernah ada data yang miss dari pembukuannya, juga tidak pernah ada perkiraan yang meleset dari prediksinya. Dendi adalah seorang akuntan yang diinginkan dan dibutuhkan oleh semua perusahaan yang ada di dunia. Seandainya ia lahir di Amerika Serikat, mungkin sekarang ia sudah mengurus Bank Dunia. Tapi takdir berkata lain. Mungkin belum waktunya Seorang Dendi mengurus busuknya keuangan dunia.

Dendi tidak pernah tertarik dengan orang lain. Ia bekerja demi uang. Baginya, pendidikan yang ia tempuh tidak ada gunanya apabila ia tidak menghasilkan uang. Dan baginya, orang lain hanyalah penghalang untuknya. Entah mereka rival, musuh, atau teman yang seringkali mengganggu jalan pekerjaannya. Ketika melakukan pembukuan, Dendi selalu menyumpal telinganya dengan noise cancelling headphone. Sambil mendengarkan lagu-lagu blues lawas dari Stevie Ray Vaughn, B. B. King, dan Eric Clapton. Ia selalu seperti ini. Konsentrasinya selalu dapat terkumpul ketika nada-nada blues yang menyayat terlantun di telinganya. Namun baginya, nada itu hanyalah nada yang enak didengar. Nada-nada itu tidak membuatnya sedih, senang, terpacu, atau emosi lainnya yang biasa dialami seseorang ketika mendengarkan musik. Baginya nadanya enak didengar. Itu saja.

“Den… Deeennn… DEEENNNN…!” ujar Riki, teman –kita menyebutnya teman, Dendi menyebutnya ‘orang yang kebetulan satu kantor’- sambil melepas headphone Dendi. “Lu coba denger deh kalau gue ngomong !” “ya Rik, lu liat aja gue lagi pake apa” katanya kalem sambil merebut kembali headphone yang diambil Riki. Ketika Dendi mencoba memakainya lagi, Riki menahannya “eh monyet, tunggu dulu, gue belum selesai ngomong.” Hardik Riki. Kesabarannya sudah habis, Riki juga sebenarnya tidak mau berinteraksi dengan Dendi. “Seperti berbicara dengan alkohol 95%” katanya, ketika ia ditanya oleh bosnya mengapa ia tidak mau berbicara dengan Dendi. Percuma. Yang ada hanya bikin emosi. “Gue disuruh Pak Ramli buat bawa lu ke klien baru kita, lu cepet siap-siap, gue anter lu ke sana. Biar gue yang terjemahin semua kelakuan lu sama klien baru kita.” “ck, kerjaan gue belum beres.” “BODO ! LU MAU SEKARAT JUGA GUE NGGAK PEDULI, NJING !” pekik Riki kepada Dendi yang sudah mulai memakai headphone-nya lagi. Rekan kerja yang lain menengok Riki, Riki membalas tatapan mereka, dan semua berekspresi sama: menggelengkan kepala. Mereka semua tahu, mengajak Dendi keluar kantor ketika ia sedang konsentrasi bekerja sama sulitnya dengan memindahkan Gunung Tangkuban Perahu ke Pulau Sumatera. Nyaris mustahil. Kecuali ada 1000 orang tua dan 10 orang pemuda yang bekerja sama. 10 orang pemuda mudah ditemukan, 1000 orang tualah yang sulit.

Dendi memang tidak bisa akrab dengan sesamanya. Ia tidak terbiasa dengan manusia. Sejak kecil, ia memang dibiasakan dengan angka. Kedua orang tuanya adalah guru besar dari sebuah universitas negeri terkenal. Ibunya adalah profesor di bidang statistik, sedangkah ayahnya adalah profesor di bidang matematika. Maka bukanlah hal yang aneh apabila Dendi menjadi seorang yang jenius di bidang akuntansi. Sejak kecil, Dendi diajarkan bahwa manusia adalah kumpulan statistik. Apa yang mereka lakukan akan bisa dengan mudah kita tebak. Semua berdasarkan statistik. Semua berdasarkan apa yang diulang tiap hari, faktor-faktor apa yang mempengaruhi, dan yang paling penting, Dendi bisa menduga-duga faktor apa yang akan berubah selanjutnya. Itulah yang membuat Dendi istimewa. Ia bisa membaca masa depan sebuah statistik. Karena itulah analisis Dendi diinginkan oleh semua perusahaan yang ada di muka bumi. Namun, karena kemampuan itu jugalah ia melupakan manusia. Baginya, manusia terlalu mudah untuk diprediksi, dan apabila ia prediksi –mengurangi energinya untuk berpikir, maka itu akan menjadi kesia-siaan karena ia tidak mendapatkan uang dari prediksi tersebut.

“Pak, ini  si Dendi tidak bisa juga saya ajak, bagaimana ya ?” kata Riki kepada telepon yang menempel di kepalanya. Telepon itu menyambung ke ruangan atasannya. Atasan yang menyuruh Riki untuk mengantarkan Dendi kepada klien baru mereka. Atasan yang bernama Pak Ramli tadi. “Oh, ok Pak kalau begitu, nanti si Dendinya saya kasih tahu. Terima ka… eh iya Pak, sama-sama.” Kata Riki sembari memencet tombol merah di teleponnya. “Kenapa Rik ?” Tanya Devi, sesama rekan kerja Riki dan Dendi. Devi selalu ingin tahu apa yang terjadi, dan apa yang akan terjadi kepada Dendi. Tentu, tampan, pintar, kaya raya di usia 27 tahun. Kurang apa untuk bikin penasaran ? “Nggak, itu kata Pak Ramli si Dendi disuruh beresin kerjaannya, udahnya nggak boleh ngerjain yang lain lagi, harus langsung gue tarik” kata Riki sambil memperhatikan gerak-gerik Dendi yang dari tadi sibuk menatap layar laptopnya. “oh gitu, mau aku aja yang bilangin ?” tanya Devi sembari mencari kesempatan untuk mengobrol dengan Dendi. “Gak usah, gue tarik aja langsung.” Kata Riki.

Badut Kelinci Lusuh

“Lu udah makan belum ? Masih keburu nih kalau mau nge-burger dulu” kata Riki kepada Dendi yang duduk di jok sebelahnya. “Gue gak makan burger.” Kata Dendi sembari melihat layar telepon genggamnya yang memunculkan artikel berita online tentang perampokan di daerah Bekasi. Perampokan yang sangat terorganisir, ketika pemilik rumah pergi, pembantu yang menjaga rumah diikat dan mulutnya disumpal. Para rampok ini berhasil menggondol isi rumah dengan tenang. Sebuah berita klise lagi dari dunia kriminal Indonesia. Kembali, bagi Dendi, rangkaian kata yang menyusun kejadian yang menyedihkan itu lebih menarik baginya daripada harus berbicara dengan orang lain. “Lu makan apa dong ? Gue ngeburger dulu boleh lah ya, drive through doang sih”, kata Riki agak memaksa. “Gue udah makan. Gak perlu ngeburger dulu, waktu gue terlalu berharga untuk nungguin lu makan burger. Gue laporin ke bos.” Kata Dendi sambil membuka daftar kontak di telepon genggamnya. Hanya ada 4 nama di situ: Pak Ramli, Ayah, Ibu, dan Unknown Number. “Monyet lu Den, ya udah, kita langsung cabut ke tempat klien kalau gitu.”

Dengan emosi, Riki kembali menancapkan gasnya. Ketika sampai di sebuah perempatan, mereka berhenti karena traffic light. “Den, lu tuh kenapa sih ? Susah banget diajak ngomong ?” tanya Riki. Ia penasaran. Baginya, mengendarai mobil dengan Dendi adalah neraka. Ketika Dante berkata bahwa ada Neraka Dingin dan Neraka Panas, maka bagi Riki ada neraka lain: Neraka Sunyi. Neraka di mana ada dua orang pria dewasa di dalam sebuah mobil yang sama, tidak bisa membuat percakapan sama sekali. “ya gue gak mau buang energi aja.” Kata Dendi sambil kembali menatap telepon genggamnya yang kini menampilkan berita tentang seorang anak yang menemukan batu ajaib yang bisa menyembuhkan penyakit apapun. Dari patah tulang hingga kulit sobek yang mengakibatkan pendarahan. “Gak mau buang energi gimana ?” Riki menanyakan kembali. “Gue udah bilang gue gak mau buang energi.” Jawab Dendi. Riki kembali bertanya, namun Dendi tidak menjawab. “Aaaahhh, anjiinggggg, mana macet begini, sebelah gue duduk monyet bisu !” Teriak Riki sambil menghantamkan kepalanya ke setir mobil dan sandaran kepala di belakangnya.

Ketika sudah makin mendekati ujung traffic light, ternyata goyangan Riki tak sengaja menyenggol tangan Dendi dan membuat telepon genggamnya jatuh. Riki meminta maaf, namun Dendi tidak bereaksi sama sekali. Ia mengambil telepon genggam yang casing belakangnya terbuka dan baterainya keluar. Ketika sedang memasangkan kembali casing-nya, mata Dendi tiba-tiba teralih dari telepon genggamnya. Ia melihat sosok yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Sebuah kelinci raksasa berwarna abu-abu yang kumal. Dengan bulu-bulunya yang sudah tidak indah lagi, lengkap dengan skema warna yang menyeramkan –matanya pink, pupilnya berwarna hijau, bagaikan kelinci raksasa yang sedang menghisap ganja. Ia menari dengan senang di pinggir jalan. Beberapa mobil membuka kacanya dan memberi uang kepadanya. Dendi terpukau. Baru pertama kali ia lihat yang seperti itu. Biasanya, ketika ia sedang berkendara dengan orang lain, matanya selalu tertuju kepada ponselnya. Sedangkan ketika berkendara sendiri, matanya hanya melihat ke depan.

Dendi lalu membuka mulutnya. “Rik, apaan itu ?” Tanyanya kepada Riki. Riki ternganga. Mungkin inilah perasaan seorang Jerman tulen ketika mereka mendengar propaganda Hitler tentang keagungan ras mereka melalui Joseph Goebbels. “DENDI NANYA SAMA GUE” begitu teriak Riki dalam hati. Ia sebenarnya tidak suka dengan Dendi, namun ketika Dendi bertanya kepadanya, itu bagaikan mukjizat di siang bolong. Siang bolongnya sudah pas, mukjizatnya nyaris tepat. “Euu.. euuu…” Riki masih terbata-bata, ia kaget dengan pertanyaan Dendi yang sebenarnya sangat sederhana. “Apa, Rik ?” tanya Dendi lagi. “euh, itu Den, itu boneka kelinci, mereka.. emmm, yaaa, ngamen gitu deh, mencoba menghibur orang yang lagi kena macet. Kalo gue sih malah serem” jawab Riki. Ia kaget ia bisa memberi jawaban yang begitu akrab kepada Dendi. “Kenapa mesti dihibur ? Bukannya ditunggu saja mestinya ?” Dendi kembali bertanya.

“iyyyaaa, gimana ya ? Mmmm, yaa kadang ada aja orang yang kasian sama yang pake baju boneka itu, kan panas, berat, mau lah bela-belain joget kayak gitu siang panas gini”

“tapi kan mereka nggak butuh, kenapa mereka bayar ? Gue sih ogah”

“ya lu nggak perlu bayar juga kali. Emang lu nggak pernah liat kayak gituan ?”

“nggak pernah.”

“LU KAN SERING NYETIR NYET ? ITU ADA DI TIAP PEREMPATAN”

“nggak pernah lihat.”

“euuh…”

Dendi lalu tiba-tiba membuka pintunya, ia keluar lalu berlari ke arah boneka kelinci tersebut. Riki yang kebingungan kaget ketika melihat lampu sudah hijau, dan ia sudah diklakson oleh orang-orang di belakangnya. “ADUH ANJEEENGGGG DENDI MONYEETTT !!!” Pintu mobilnya belum tertutup. Untungnya ada pengendara motor yang cukup baik untuk menutupkan pintunya, ia menutup pintu mobil yang dibawa Riki sambil berteriak “TEMENNYA ANTIK PAK !” Riki lalu melaju, dan mencari tempat di mana ia bisa memarkirkan mobilnya. Ia lalu parkir di minimarket tidak jauh dari traffic light tadi. Ia terdiam. “Dendi. Kalau gue bukan manusia yang masih peduli sama pekerjaan gue –iya, gue nggak peduli sama lu, udah gue tinggalin. Tapi Lu adalah kesayangan bos, lu ilang, kerjaan gue ikut ilang” umpat Riki. Riki lalu turun dan mengunci mobilnya. Ia menyempatkan diri membeli 2 botol air mineral untuk dirinya dan Dendi.

Ia lalu berjalan ke arah traffic light di mana Dendi turun. Ia yakin, Dendi sedang menghampiri badut kelinci tadi. Tak lama, ia menemukan Dendi yang sedang duduk di bawah pohon di pinggir jalan bersama badut kelinci tadi. Kepalanya dilepas, dan sekarang ada di pangkuan si badut sendiri. Mereka berbincang, Dendi melihat kostum itu dari atas ke bawah, dengan segala kekagumannya.

“Pak, maaf ini temen saya agak-agak gesrek, kalau aneh-aneh mohon dimaafin” kata Riki meminta maaf

“Oooh, nggak Dek, temennya baik ini, Cuma tanya-tanya aja sama saya” ujar si bapak badut kelinci dalam logat Jawa yang kental.

“Den, lu kenapa deh ah ?” tanya Riki

“Gue penasaran Rik, kenapa bapak ini mau bela-belain jadi badut sampai segitunya” kata Dendi

“yaa kalau ndak begini, anak-anak saya mau makan apa nanti Dek” jawab si bapak kalem sambil menyeka keringatnya dengan handuk good morning yang sudah sangat kumal.

Dendi terdiam. “Den, ayo ih itu klien udah nungguin dari tadi” kata Riki sambil melemparkan air mineral botol ke arah Dendi. Dendi diam, sehingga air itu mengenai kepalanya. Walaupun begitu, ia tetap diam. “DEN BURU AHHH NYET !” Riki mulai kembali berteriak. “I… iya…” kata Dendi. Ia lalu merogoh sakunya. Ia mengambil sebuah telepon genggam lagi. Kali ini telepon genggam model lama. Model yang sekali diisi baterainya bisa dipakai selama seminggu.

“Pak, ini buat bapak, nanti saya telepon ya Pak.” Ujar Dendi sambil memberikan telepon genggamnya ke si badut.

“Waduh Dek, saya ndak bisa pakai itu” tolak si bapak

“ya Pak, pokoknya nanti kalau ada bunyi, pencet tombol hijau ini saja Pak, nanti saya bisa bicara sama bapak. Saya ingin ngobrol sama bapak.” Kata Dendi memaksa

“Ya sudah Dek, saya anggap ini Adek titipkan ke saya saja ya.” Jawab si bapak

“Iya.. Pak terserah bapak, yang penting saya bisa telepon bapak” kata Dendi.

“BURUAN WOY !” Kata Riki. Dendi lalu berlari ke arah Riki, dan mereka sama-sama masuk ke dalam mobil. Pak Badut pun memasukkan telepon yang Dendi berikan kepadanya, lalu memakai kepalanya kembali, dan mulai mengamen kembali di pinggir jalan.

Monyet Yang Muncul di Malam Hari

Pada diri manusia –yang katanya- modern, mereka tidak peduli dengan apa itu yang namanya rumah. Rumah bukanlah tempat kembali. Rumah bukanlah tempat untuk bersenda gurau dengan keluarga, melepas lelah, makan makanan rumahan, bertengkar dengan saudara lalu bermaafan, bermain tanah dan selang air di halaman belakang, atau bermain sepak bola dengan tetangga. Bagi manusia modern, rumah hanyalah tempat singgah untuk rehat sejenak, memberi jeda dari hari ini untuk hari esok. Rumah hanyalah tempat untuk berbaring di permukaan yang empuk, memejamkan mata, untuk kemudian membuka mata, dan menjalani esok hari yang begitu-begitu lagi. Begitulah rumah bagi manusia modern. Begitu juga rumah bagi Dendi. Karena itulah, ia tidak mau ambil pusing membeli rumah dengan harga milyaran –yang sebenarnya masih terjangkau buatnya. Ia lebih memilih apartemen.

Apartemen Dendi adalah apartemen mewah namun hanya memiliki satu kamar –sebenarnya ada 2, namun kamar satu lagi sengaja dinonfungsionalkan oleh Dendi yang tidak memiliki hobi maupun teman. Di kamar itu ada kompor untuk memasak, televisi yang sudah lama tidak dinyalakan, sofa untuk satu orang, serta meja kopi yang lengkap dengan kertas dan koran yang berserakan di atasnya. Dendi mengerjakan pekerjaan yang bisa dibawa ke rumah di meja itu. Koran dapat membantunya meluangkan ruang di otak untuk berpikir. Baginya, membaca koran adalah refreshing. Membaca itu menyenangkan. Karena baginya, membaca penderitaan orang di koran tidak perlu ia rasakan. Ia membacanya begitu saja. Tidak ada beban sama sekali untuknya. “untuk apa, toh tidak kenal ?” begitu pikirnya.

Namun malam itu, Dendi tidak bisa memejamkan matanya. Sambil membaringkan tubuhnya yang sudah lelah –walaupun ia tidak peduli lelah itu apa, matanya terus terfokus pada satu nama di telepon genggamnya. Unknown Number. Di kamar apartemennya yang sepi, ia termenung sendiri. Memikirkan bapak badut kelinci. Untuk pertama kali dalam seumur hidupnya, Dendi memikirkan orang lain. Biasanya, yang ada di otaknya hanyalah angka, angka dan angka. Baginya, angka adalah pemecah misteri untuk masa depan, satu-satunya hal yang penting untuk dipikirkan. Ia ingin menekan tombol “call” di sebelah unknown number itu. Tapi entah kenapa sesuatu menahannya. Ia hanya bisa termenung, dan membayangkan pembicaraan apa yang akan ia bicarakan dengan Bapak Badut Kelinci.

Tak lama, ia mendengar sebuah ketukan di jendela luar kamarnya. Dendi kaget. Ketukan di jendela luar kamar apartemennya adalah suatu hal yang tidak mungkin terjadi. Kamarnya berada di lantai 16. Jika ada yang mengetuk di luar, hanya ada 2 kemungkinan: tukang pembersih jendela –yang tidak mungkin muncul di malam hari, atau lainnya –yang pasti, bukan manusia. Itu membuat Dendi tertarik. Ia tidak tertarik pada manusia, tapi ia tertarik pada apapun yang bukan manusia yang bisa berinteraksi dua arah dengannya. Ia lalu berlari ke kaca jendela di mana suara itu berasal.

“Tok, tok, tok…”

“Eh, siapa itu ?” tanya Dendi

“Pak Dendi ? Coba bisa tolong buka jendelanya ?” ada suara yang muncul dari luar. Suaranya parau, terdengar seperti burung Beo yang sedang terkena penyakit flu. Dendi tidak bisa melihat sosok yang mengeluarkan suara parau itu. Tanpa berpikir panjang –jika berpikir panjang pun percuma, dari awal Dendi sudah berkesimpulan bahwa ini bukanlah suatu hal yang ‘biasa’, ia membuka jendela itu.

“Selamat malam Pak Dendi” ujar sumber suara itu. Seekor monyet putih. Sambil berujar selamat malam, monyet itu mengangkat tangan kanannya, menempelkan di alis kanannya. Persis seperti siswa SMA yang sedang upacara, menghormat bendera, namun lupa membawa topi. “boleh saya masuk Pak ? di luar dingin.” Kata monyet itu kalem.

“iii..yaaa boleh silahkan masuk” Dendi mempersilahkan monyet itu masuk. Ia masih bingung, tapi ia benar-benar penasaran. Ini benar-benar di luar perhitungannya. Ada monyet putih yang masuk ke kamarnya di tengah malam. Biasanya, tengah malam adalah waktunya bulan keluar. Waktu itu tanggal 15, sehingga bulan yang di luar adalah bulan penuh. Tapi Dendi tidak punya waktu untuk melihat bulan itu. Atau mungkin, dia lupa.

Monyet itu terdiam sebentar. Lalu bertanya “saya tidak dipersilahkan duduk nih ?” sambil menggaruk kepalanya dengan tangan kanannya. “oh, iya, duduk di lantai saja ya. Di karpet maksudnya.” Kata Dendi. Kamar apartemen mewah seperti milik Dendi tidak punya lantai, karena semuanya dilapisi karpet. Bukan karpet biasa tentunya, karpet kelas atas. Monyet putih itu pun duduk. Ia menatap mata Dendi dalam-dalam, lalu menghela nafas.

“haaaah…”

“emm, ada apa ya ?” tanya Dendi bingung. Ia duduk bersila di depan si monyet putih.

“yaa, begini Pak, saya disuruh bos saya untuk mendatangi Pak Dendi, katanya Pak Dendi sedang bingung, betul ?”

“yaaa, bingung sih. Tapi kok tahu dari mana ini ? Terus kamu siapa ? Bos kamu siapa ?”

“owalaaahhh ! Ya ampun ! saya belum memperkenalkan diri ya ? Lupa saya” kata monyet itu sambil menepok jidatnya. “kenalkan, nama saya Pradudu, panggil saja Dudu. Saya disuruh bos saya buat menemui Pak Dendi di apartemen Green Garden, kamar 1656.” Kata si monyet putih sambil menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Tangannya kecil. Tentu saja seukuran tangan monyet. Monyet yang ukurannya hanya sekitar 1/5 manusia. Dendi menjabat tangan kecil itu.

“iya benar, saya Dendi. Kalau boleh tahu, ini bos kamu siapa yang suruh ?”

“wah, saya tidak bisa bilang, Pak Dendi. Rahasia perusahaan”

“terus ada perlu apa ke sini ?”

“wah, Pak Dendi belum jawab pertanyaan saya tadi. Katanya Pak Dendi sedang bingung kan, coba sini ceritakan.”

“ya, memang betul saya sedang bingung. Seumur hidup saya tidak pernah bingung. Baru tadi saja. Saya melihat bapak-bapak pakai baju badut yang sudah kumal, terus dia mengamen di pinggir jalan, panas-panasan, kok mau-maunya gitu”

Monyet putih itu diam, lalu ia tiba-tiba berteriak “MAU KAYA ? USAHA !”

Dendi kaget, ia hampir membentur tembok di belakangnya. Tubuhnya reflek terhempas ke belakang. “Hah ?” katanya bingung.

“Begitu biasanya kata motivator-motivator yang suka keliaran di TV kan ?” kata si monyet putih.

“wah.. nggak pernah nonton TV..” Dendi makin bingung.

“ya pokoknya beginilah. Di TV, seringkali banyak orang-orang yang merasa sudah lebih baik daripada orang lain. Memberi nasihat kepada banyak orang. Pikirnya semua orang itu sama ! Mereka berkoar-koar, kalau mau kaya, harus usaha keras ! Begitu katanya !” kata si monyet putih berapi-api.

Dendi mengerutkan dahinya “terus apa hubungannya sama saya dan si bapak ?” Tanya Dendi.

“Pak Dendi sadar tidak, kalau usaha Pak Dendi itu nggak ada apa-apanya sama usahanya Pak Parjo ?”

“Pak Parjo ?”

“Iya, si bapak badut itu namanya Pak Parjo. Pak Suparjo”

“oh. Iya, mungkin sih.”

“Bukan mungkin, tapi memang !”

“Coba, bagaimana ?”

“Pak Parjo itu setiap hari bangun jam 5 subuh, langsung naik kereta ke tengah kota, dengan bawa kostum yang berat dan bau itu, dilirik oleh orang-orang dengan tidak enak di kereta, turun, lalu mulai mengamen sebagai badut. Ia mengamen sampai jam 12 siang, di waktu itu ia istirahat. Kalau dia beruntung, dia bisa beli roti dan susu di minimarket untuk makan siang. Kalau tidak, ya sudah, dia hanya minum air mineral botolan yang ia bawa dari rumah. Penghasilannya tidak akan bersisa jika ia makan nasi siang hari. Anak istrinya akan kelaparan di rumah. Setelah itu, ia kembali mengamen hingga jam 9 malam. Pulang, mengurus istrinya yang sakit-sakitan lalu tidur. Dan kembali bangun jam 5” kata si monyet putih.

“iya, betul, terus ?”

“coba kamu bandingkan kehidupan kamu dengan kehidupan Pak Parjo. Pak Parjo yang tiap hari begitu keras berusaha, hanya bisa menikmati hidup yang segitu-segitunya. Sedangkan kamu ? Kamu yang hanya bangun, mengutak-atik angka, lalu makan enak, dan semua dilakukan di ruangan berpendingin, lalu tidur, lalu bangun kembali untuk mengutak-atik angka, makan enak, lalu tidur dan semua dilakukan di ruangan berpendingin, itu tidak ada apa-apanya dengan usaha Pak Parjo” si monyet putih berujar sambil berapi-api.

“oke Dudu, sekarang saya tanya sama Dudu. Pak Parjo pernah nggak tidak tidur sampai 3 hari karena mengerjakan sesuatu yang bernama skripsi ? Menghitung angka yang tak berujung, demi orang lain. Pingsan sesudahnya karena terlalu banyak minuman berenergi. Divonis dokter nyaris mati karena hal yang sama. Itu yang saya alami untuk sampai di sini. Kamu pikir itu bukan usaha ?” tanya Dendi kesal

Monyet itu tertawa

“ahahaha. Pak Dendi, Pak Dendi itu pintar. Tapi naif ya. Pak Dendi ini lahir di lingkungan yang luar biasa, lingkungan Pak Dendi lah yang memungkinkan Pak Dendi untuk masuk kuliah Pak Dendi dulu. Pak Parjo, kalau lahir di lingkungan seperti Pak Dendi, mungkin sekarang Pak Parjo sudah jadi orang nomor 1 di dunia ! Determinasinya tidak ada yang mengalahkan ! Hanya, hanya saja, Pak Parjo kurang beruntung ! Lagipula saya tahu, bagi Pak Dendi, menghitung itu seperti bernafas, mudah” kata si monyet dengan nada melecehkan. Dendi terdiam. Ia mencoba membuka mulutnya, namun tidak ada suara keluar dari mulutnya.

“okelah, begitu saja tugas saya malam ini. Untuk membuat Pak Dendi terdiam membisu. Hahaha. Saya pamit kalau begitu” kata si monyet sambil melompat keluar jendela. Ia lalu menghilang di tengah malam. Dendi terdiam. Setelah beberapa menit terdiam, memikirkan segala perkataan si monyet. Ia pun berdiri dan menutup jendela. Ia berjalan perlahan ke tempat tidurnya. Kembali membaringkan badannya. Ia pun berpikir hingga tertidur. Ia lupa menelpon si Unknown Number, nomor telepon genggam yang ia berikan kepada Pak Parjo si badut.

Dendi dan Pak Parjo

Dendi terbangun seperti biasa. Pukul 6 pagi. Dalam sekejap pikirannya tertuju pada sebuah kereta listrik yang sedang berjalan ke arah tengah kota. Di dalamnya terdapat seorang bapak tua yang membawa kostum badut besar yang bau. Mata orang-orang sekitar tertuju kepadanya. Karena barang bawaannya besar dan bau. Orang-orang itu tidak tahu dan tidak mau tahu mengapa si Bapak sampai sebegitunya menghadapi hidup.

Dendi mencoba menghubungi unknown number di telepon genggamnya. Di ujungnya, ada seseorang yang menjawab. Pak Parjo. Ternyata ia membawa telepon genggam yang Dendi berikan.

“Halo, Pak Parjo ?” ujar Dendi.

“eh i.. iya, bagaimana ? Ini adek yang kemaren kasih saya hp kan ?” tanya Pak Parjo bingung.

“iya Pak, saya Dendi.”

“ada apa Nak Dendi, saya tunggu teleponnya semalam, tapi tidak muncul-muncul”

“ah iya, maaf Pak Parjo, saya terlalu malam sampai rumah, saya takut kalau saya telepon Pak Parjo sudah tidur” kata Dendi.

“Nak Dendi tahu dari mana nama saya ? Saya rasa saya belum memperkenalkan diri ke Nak Dendi” tanya Pak Parjo bingung.

Dendi tidak mungkin menjawab dari monyet putih yang tiba-tiba mengetuk jendela kamarnya. “yah, tidak pentinglah itu Pak. Yang penting Pak Parjo semangat bekerjanya hari ini ya Pak. Saya mendoakan bapak dari jauh, jika sempat, saya akan menghampiri bapak nanti sore sepulang kerja. Kita makan bareng ya Pak.” Kata Dendi.

“Tidak usah repot-repot Nak Dendi” jawab pak Parjo kalem.

“ah, nggak apa-apa Pak, nanti saya traktir. Sudah ya Pak, saya mau siap-siap ke kantor”

“oh begitu, ya alhamdulillah. Baik Nak Dendi, sampai ketemu nanti.”

Dendi menutup teleponnya, lalu bergegas ke kamar mandi untuk bersiap-siap pergi ke tempat kerjanya. Dalam pikirannya, ide-ide berkecamuk. Tidak selamanya usaha keras ada hasilnya. Orang yang sudah berusaha seperti Pak Parjo, tidak selamanya berhasil. Sedangkan usaha dirinya yang tidak terlalu keras, ia berhasil. Tapi ia lupa mendefinisikan arti berhasil. Dendi hanya tahu berhasil adalah memiliki uang. Membuat orang lain tersenyum dengan memberikan mereka keuntungan, yang ujung-ujungnya uang. Sedangkan bagi Pak Parjo, berhasil adalah membuat anak kecil yang sedang berada di mobil tersenyum, sambil membawa makanan pulang ke rumah untuk anak dan istrinya. Begitulah hidup. Ada keadilan dalam ketidakadilan, juga ketidakadilan dalam keadilan.

Usaha keras Pak Parjo bukanlah tanpa hasil. Ia dihargai oleh Dendi, setidaknya. Mungkin apa yang disampaikan para motivator itu tidak sepenuhnya omong kosong. Pak Parjo memang tidak kaya, tapi Dendi menghargainya. Seorang Dendi yang menganggap manusia lain adalah pengganggu, seorang Dendi yang tidak pernah bisa menghargai keberadaan orang lain. Tapi, apalah artinya untuk Pak Parjo. Hidupnya tetap keras dan berat, istrinya tetap sakit, dan ia tetaplah badut kelinci lusuh yang mengamen di pinggir jalan.

Satu hari. Hanya satu hari yang aneh yang dibutuhkan Dendi untuk memulai membuka pikirannya. Satu hari yang dipenuhi badut kelinci dan monyet putih. Bertemu badut kelinci adalah hal kecil bagi seseorang, namun bagi Dendi, itu adalah hal yang besar. Mulai hari itu, Dendi berniat untuk lebih menghargai orang lain. Tidak semua orang bisa sesukses dirinya, sekeras apapun mereka berusaha. Dendi juga mulai berpikir tentang perbuatannya terhadap teman sekantornya. Dendi selalu berpikir bahwa beban yang dikerjakan oleh temannya sama dengan yang ia kerjakan. Mungkin yang ia kerjakan lebih. Namun ia lupa, bahwa temannya adalah orang biasa. Riki. Riki hanyalah orang biasa yang beruntung bisa berada di kantor yang sama dengan Dendi. Begitu juga Devi. Beban kerja mereka, walaupun sama, kapasitas otak mereka pada dasarnya berbeda. Riki dan Devi tidak akan pernah bisa menyenangkan Pak Ramli sebagaimana Dendi menyenangkan dirinya.

 

Langit Laut

langit laut

Kata ibu, sejak dulu langit itu biru
Kata ibu, sejak dulu laut itu biru
Adakalanya mereka bertemu
Sebidang biru dengan sebidang biru
Ketika bertemu, ada garis semu ketika mereka bersatu
Kata ibu, cakrawala nama garis semu itu

Di tengah cakrawala ada garis merah membelah
Ia muncul di tengah memecah biru hingga terbelah
Ada titik-titik hitam yang muncul jauh di tengah
Titik-titik itu melebar merekah, berlatar belakang merah
Titik merekah menyebar sinar putih ke segala arah
Itu baja yang mengapung di air, ia pasrah

Yang paling atas yang terlupa, mungkin aku letih ?
Ia mengambang di langit, berwarna putih
Bergerak mengikuti angin, lembut tak tertatih
Kadang aku berpikir, apa si putih itu pernah merintih ?
Sepertinya tidak.

Begitulah sekilas tentang langit dan laut
Ketika langit laut bertemu, terekam dalam imaji alam
Berpindah melalui gelombang di udara
Dari Timur ke Barat, dari alat ke alat, tak terlihat

P. S: Picture taken by Fatia Nurizky, at Pelabuhan Paotere, Makassar, I guess

Requestioning Happiness

Being awaken in the middle of the night is not something I fancy too much. Sadly, it happened a lot. But sometimes, during those times, I found something interesting lingering in my mind. Well again, this time, it is about happiness. I’m requestioning the meaning of being happy. What is happiness ? I once wrote about happiness in a form of stupid “poem”; I said:

Happiness are cookies in a jar
Said the little kid from a far
Happiness is an expensive supercar
Said the movie star

Happiness is a myth
Said the sad wordsmith
Happiness is buried in filth
Said the treasure hunter named Keith

Happiness is buying mom presents
Said the kid who just paid his rents
Happiness are those countless cents
Said the beggar sitting in a tent

Happiness is client’s smile
Said the salesman who just walked for miles
Happiness is healthy lifestyle
Said the runner who just ran for miles

Happiness is in a question
Said the writer in this ession

“Do you want to be happy ?”

I think it is. Happiness linger somewhere in our mind. We can get it everytime we want it. It’s about perspective. We used to perceive things in a form that we want the things to be. For example, music. Duke Ellington once said that there are only two kind of musics; the good ones and the bad ones. That means, it can be metal, it can be rock, it can be dangdut, it can be jazz, anything. It can be anything. The what so called genre doesn’t matter. What makes music good is the music itself. Do we dance to it ? Do we tap our leg unconcsciously ? Do we hum the song ? Etc. Doesn’t matter how the players play it. But sometimes, people can’t stand dangdut because it is being ascociated with the lower class people. “You listen to dangdut ? Well you have a bad music taste” said someone who listen to Rebecca Black. See, it’s the prespective that ruined dangdut. If we change our perspective into Duke Ellington’s, we can see a good dangdut and a bad dangdut. Of course not all dangdut are great, so does metal or rock or pop. There are sucky parts of it too. Even when they come from a same artist. Master of Puppets is one of the best metal song ever written, it is Metallica’s golden cup, while Saint Anger is a piece of failure written by the same people who wrote Master of Puppets. But still, we don’t disregard Metallica as the band who once wrote Master of Puppets when they released Saint Anger, right ? And when Master of Puppets being covered by the great Dream Theater, it doesn’t get good. It turned horrible. That’s how happiness work, a good thing may seen as a bad thing, vice versa.

Here are some of more comprehensive details.

Shit happens. A lot. When it happened, sometimes we just have to change our perspective. Let’s say that we failed our works, and being slammed in the face by our superior. Okay it sucks, but think of this: our superior care about us, or at least, about things we do. About how our works can affect the whole company as a system. It means you’re matter to the company. You can think that it is a corporate bullshit that you can be replaced by other person in no time, you can think that is an excuse for the company to press you more, etc. But then you forgot the most important thing that you have, and other might not: you. Have. A. job. You can have steady income, or if it is not steady, at least you have an income, and you can live by your own. Isn’t that something to be grateful for ?

Sometimes we’re being sad because of things done to us by other. But, we’re being happy because of things done to us by other either. One person can be (and always be) the source of both happiness and unhappiness. On different time and different situation, people can be either a pack of fun, or a piece of shit. When they’re being a pack of fun, then let it be. When they’re being a piece of shit, remember that they were once a pack of fun, and they might be returning to the pack of fun they once were. People change overtime. We just don’t know when, and how, and what will they change into. We’ll just never know, but we will never ever even know if we are not even trying. Change in people is normal. People is changing every second, that’s why we will never really know someone until (s)he died. When (s)he died, (s)he won’t change anymore right ? Not really. Pretty sure that there are secrets they took beyond the grave. Only God can know and understand someone perfectly.

Being sad is of course very normal. But let it happens only once in a while. One of my wisest, bestest, smartest, kindest friend once said: unhappy person create unhappiness. It’s true. When you’re unhappy, you want others to be unhappy too. Consciously or unconsciously. People tend to get close to others who have same experience, so they can share their pain. But you know what ? If you have a really good friend, you don’t have to make that friend sad to feel your sadness to share your pain. Great friends understand what sadness to their friend is. Or at least, they listen. And I think it is more than enough. Sometimes you just need somebody to listen to you, right ? And about sharing the pain, for true friends, it is painful to hear our friend in trouble.

As the poem said, “do you want to be happy ?” you can always answer with a yes, along with changing your perspective towards stuffs. It will make your life better. Another thing another wise friend said: “always save some space in your heart to be grateful.” This is one of the most important phrase I’ve ever heard. When your heart is broken, just remember that you have space on your mind to think about love. You don’t have to think about wether you can eat or not the next day. It’s harsh, I do admit it’s harsh, but it is one way to be grateful. When you can think about people who hurt you, then you still have to be grateful than you can think about them, under your house’s roof, while other people still have to think how they can eat the next day under a bridge in the middle of the rain.

So, I requestion this: “do you want to be happy ?”

Obrolan Sebelum Tidur

Tadi malam, saya mencoba untuk tidur. Setelah berpamitan tidur dengan orang-orang yang senantiasa mengisi hari-hari saya, saya memutuskan untuk membuat sebuah posting di media sosial Path. Posting sederhana yang mengisyaratkan saya sedang mendalami pattern drum hip-hop melalui lagu Ch-Ch-Check It Out dari Beastie Boys. Saya sudah sangat mengantuk di kala itu. Namun tak lama, ada notifikasi dari Path. Dari Rayhan Sudrajat. Siapa dia ? Teman. Tapi coba googling saja, namanya cukup tenar di belantara musik lokal.

Ia mengomentari tentang bagaimana dulu ia mendapatkan album Beastie Boys To the 5 Boroughs (ia membelinya di Borma ketika masih SD). Komentar iseng, yang ringan yang saya balas dengan ringan juga. Kebetulan saya ingat saya beli album itu di toko musik Aquarius di Dago. Tak lama, ada komentar lain yang masuk, dari Rayhan lagi, tentang memori. Katanya, “kok memori itu ada ? Tapi sebenarnya nggak ada ?” Wow. Pertanyaan yang sangat filosofis. Tipe-tipe pertanyaan yang ditanyakan oleh Rayhan ketika iseng, dan tipe pertanyaan yang akan dengan senang hari saya jawab. Kebetulan saya memang punya ketertarikan terhadap hal-hal seperti itu.

Saya menjawab dengan salah satu filosofi dasar, yaitu konsep dunia ide. Tentang bagaimana sebenarnya di kepala kita, ada konsep-konsep imajiner yang berkeliaran. Ia tidak nyata, tapi ada di kepala. Ketika saya bilang kursi, walaupun kursi itu tak ada, tapi akan muncul di kepalamu tentang apa itu kursi. Alat untuk diduduki. Seperti itulah. Memori adalah imaji kita tentang kursi-kursi itu, dan bagaimana kursi-kursi itu berhubungan dengan konsep ide lainnya yang ada di kepala. Lalu pembicaraan pun bergerak dari dunia ide ke dunia empiris. Di dunia empiris, ketika kamu dipukul, maka kamu akan bengkak. Di dunia ide, ide-ide saling berinteraksi dan membuat memori.

Rayhan lalu membalas dengan komentar yang bagi saya cukup sedap untuk dikutip; “Itulah menantangnya hidup melalui imaji. Melukiskan, menggambarkan dari sesuatu yang nggak ada.” Mungkin itu visinya sebagai seniman yang seringkali membuat musik untuk menggambarkan sesuatu. Saya setuju. Saya juga menambahkan kegilaan lain dari imaji, di mana ia bisa membuat sesuatu yang ada menjadi tidak ada. Saya mengacu ini kepada proses pencitraan. Bagaimana imaji/citra bisa menutupi keburukan seseorang dengan imaji baik yang ia tunjukkan.

Pembicaraan terus berkembang hingga pada titik di mana menurut Rayhan imaji orang beda-beda, sehingga seseorang tidak bisa memaksakan imajinya kepada orang lain. Ini juga asik untuk ditelaah. Tentu demikian. Imaji yang ada di kepala orang memang berbeda-beda. Ia muncul sebagai refleksi dari dunia empiris di mana mereka hidup. Manusia adalah wadah ide yang dibentuk oleh manusia luar. Itu yang saya percaya. Lalu Rayhan mengkonfirmasi lagi keyakinannya: bahwa dunia empiris itu berbeda bagi tiap orang, bergantung dengan pengalamannya, terutama pada masyarakat adat.

Nah, untuk ini, saya mengambil kacamata baru. Kacamata kebudayaan. Saya mengambil konsep kebudayaan dari Clifford Geertz yang berbunyi: :“an historically transmitted pattern of meanings embodied in symbols…by means of which men communicate, perpetuate, and develop their knowledge about and attitude toward life”. Bagaimana cara manusia memandang hidupnya melalui komunikasi, pandangan, dan pengetahuan. Mungkin ini yang dimaksud Rayhan dengan pengalaman yang mengubah persepsi orang tentang dunia empiris.

Saya rasa demikian. Bagaimana pengalaman seseorang mampu mengubah pandangan (kebudayaan)nya terhadap hidup, yang tentunya akan mengubah pandangannya terhadap dunia sekitarnya. Belakangan saya sering berpikir, ada beberapa manusia (termasuk saya) yang memiliki set of rules yang tidak mau ia langgar. Set of rules ini biasanya adalah standar dia terhadap hidup. Saya sendiri memiliki set of rules dari yang sederhana hingga yang kompleks, dan saya memegang teguh set of rules ini. Yang sederhana misalnya; tidak berkendara seperti orang bodoh. Jikalau saya berkendara seperti orang bodoh, apa yang terjadi ? Ya mungkin kecelakaan, atau apapun yang merugikan orang lain lah. Awalnya begitu saya pikir. Yang terjadi hanyalah kekacauan di dunia luar. Namun, belakangan saya berpikir lagi, ternyata apabila saya melanggar set of rules saya sendiri, yang akan berubah bukan hanya lingkungan secara spesifik saja, tetapi secara keseluruhan ! Mengapa ? Karena dengan melanggar set of rules ini, saya melanggar apa yang saya percaya, saya melakukan sesuatu yang bisa mengubah pandangan saya. Ketika pandangan saya berubah, maka dunia akan ikut berubah ! Begitulah kiranya.

Karena itulah, bagi saya setiap orang memiliki acuan kebenarannya masing-masing. Ada di post saya sebelumnya, A Different Set of Truths. Pandangan itu tidak berlaku kepada agama saja, tetapi juga kepada aspek-aspek lain dalam kehidupan. Persepsi ini dinamis dan bisa berubah. Ini diamini oleh Rayhan yang melihat perubahannya di dalam Suku Baduy Dalam yang belum lama ia teliti. Ia sedih, karena katanya 5% dari anggota Suku Baduy Dalam mulai berubah dan ingin meninggalkan sukunya. Yang keluarnya adalah anak muda, sedangkan yang tua tetap mempertahankan budaya dalamnya. Ia sedih karena mungkin nantinya mereka yang keluar akan mempengaruhi mereka yang di dalam. Lama kelamaan, kebudayaan mereka akan luntur karena modernitas.

Ini mengingatkan saya terhadap salah satu kuliah oleh dosen dari Sosiologi UI, Ibu Dara. Menurut beliau, masalah klasik yang dihadapi oleh masyarakat yang mulai modern adalah urbanisasi. Di mana daerah-daerah pinggiran mulai ikut menjadi kota, kebudayaan mereka terkikis dan menjadi ikut kepada kebudayaan kota. Ini adalah modernitas. Mungkin memang banyak hal yang baik dalam modernitas, hidup yang lebih dipermudah, informasi yang lebih banyak, pikiran yang lebih terbuka, dan lain-lain. Namun di sisi lain, eksesnya buruk, membunuh kebudayaan yang sudah lama ada. Sedangkan masyarakat tradisional, hidupnya lebih sederhana. Buruknya ? Mereka kurang mengetahui “kebenaran-kebenaran” yang dianggap benar oleh mayoritas. Bagi saya sebenarnya itu tidak buruk, karena “kebenaran” sendiri tentunya dibuat. Iya. Kebenaran adalah kebudayaan yang dipaksakan. Jadi, sebenarnya tidak mengetahui “kebenaran-kebenaran” yang dianggap benar oleh mayoritas tidak selamanya buruk, bisa dinetralisir dengan kearifan lokal. Tapi yah mungkin, akses terhadap teknologi yang terbatas bisa dianggap sebagai “pelanggaran HAM” dengan segala argumentasinya. Mungkin, tradisionalitas bisa membantu kita untuk menangkan ekses modernitas yang membunuh ?

Diskusi kembali berlanjut kepada Rayhan yang menceritakan gaya hidup kommunal suku Baduy Dalam. Gaya hidup kommunal ini mirip-mirip dengan idealisme dari komunisme. Saya sendiri sedikit tertarik dengan komunisme, namun masih kurang membaca tentang eksesnya dalam bidang ekonomi. Namun, saya suka dengan argumen Rayhan yang menurutnya: “apabila kita punya baju yang sama, sendal yang sama, ladang yang sama, penghasilan yang sama, apalagi yang akan membuat kita menjadi iri-dengki ?” Selain itu, bagi Rayhan, masyarakat adat lebih dari sekedar objek wisata. Tetapi cara hidup. Cara menjalankan hidup. Kembali, kebudayaan. Katanya, jika sekedar objek wisata, berakting saja sudah cukup untuk menyenangkan turis.

Namun, dalam diskusi seperti ini, saya selalu kembali ke pertanyaan: “pentingkah mempertahankan masyarakat adat ? Toh nenek moyang kita dulu pun masyarakat adat yang mungkin saja sudah punah, bukan ?” Entah ya, mungkin itu pertanyaan yang sangat arogan, karena nantinya pada akhirnya, mungkin manusia itu sama semua. Mungkin ini adalah efek Juggernaut yang tak terelakkan dari globalisasi yang menghancurkan sekitarnya.

Diskusi ditutup dengan makian dari Rayhan yang mengatakan bahwa istilah “suku terasing atau tertinggal” adalah sesuatu yang goblog. Saya setuju. Mereka hidup dengan cara mereka sendiri. Mereka bisa hidup, mungkin lebih bahagia daripada kita-kita yang merupakan masyarakat modern. Ini bertentangan dengan pertanyaan saya memang. Tapi ya, begitulah. Memang masih misterius, apakah kearifan lokal bisa bertahan dari modernitas ? Sesuatu yang patut untuk selalu ditanyakan dan didiskusikan. Jika ditanyakan posisi saya di mana ? Yah, mungkin posisi saya ada pada kalimat ini: “hiduplah dengan cara kalian masing-masing, kenyamanan kalian kalian yang tentukan, jangan ganggu kenyamanan orang lain.” Kurang lebih begitu.

Begitulah obrolan sebelum tidur saya dengan Rayhan Sudrajat semalam. Bagaimana dengan obrolan sebelum tidur kalian ? Lebih seru ?

Set of Different Truths

Lately, one of my closest friend confessed that she is converting into Buddhism. I’m not surprised. It is easy to tell. From her blogpost, from books she reads, from what she tweets few years ago, from her lifestyle, from how she perceive problems, it’s pretty much like “well, I think buddhism suite you well, you know ?”. But I never said that, because I never care about other’s religion. For me, not caring about other’s religion is like “ignorance is a bliss.” I have friends from different sides of religions. And I’m always okay with them as long as they’re not an asshole. It’s simple.

I learned about views since highschool. I read so many books about the Nazis and their Ultra-nationalism, or the Italians with their Fascism, the Frenchs with their Egalite, Fratirnite, Liberte, Americans with their Liberalism, Indonesians with their Pancasilaism, PKI with their Communism, etc. These views are somewhat a set of ‘rules’ and ‘how-to-do’ to reach their ultimate goals. If you think of it, these goals are always good, to make their people happy, wealthy, can live their life fully. But of course, there are assholes who ruined these views. I always think that the views are never wrong, they’re searching for something good, but human, human are sources of all mistakes. They mistook it, bringing it into oblivion.

So does religion. For me, religions are set of different truths. Me, of course I believe my religion is the rightest. But it doesn’t makes me want to stop someone saying the same thing. It is their right to say so. And also my right to not listening to it, or to not believing in it. And it is their right too to not believing or listening to mine. Always like that. My truth is different from your truth. So what ? Believing in these set of truths shouldn’t limit us for being friends. As long as your truth not crossing mine, empirically. I mean, not in the world of ideas, but in the real world, like, I can’t pray (in my religion’s way) beside you, because you would punch me in the face. In the world of ideas, of course it is different, it is the main difference to be precise.

In the end, it is our choice that will meet the consequences. Which heaven is the rightest ? We will never know until we reach the end. Or, maybe, as my another friend would say “does heaven even exist ?.” It’s like that. Fighting for something that haven’t been empirically proven is somewhat… well.. I won’t say stupid, because it is related with faith, but it is certainly unnerving to see people killing or being unfriended for that. So, try to be more ignorant to other’s religion, and starts worrying with yours. I guess.