Satu Hari Saja
Alan Moore pernah berujar, melalui salah satu karakter komik yang paling mahsyur yang muncul dalam novel grafisnya yang melegenda: “All it takes is one bad day to reduce the sanest man alive to lunacy.” “Yang dibutuhkan hanyalah satu hari untuk mengubah orang paling waras sedunia menjadi sebuah kegilaan.” Sebuah kutipan yang luar biasa. Menggambarkan proses bagaimana Joker menjadi Joker yang kini dikenal orang banyak. Yang gila. Hanya satu hari buruk, buruk sekali. Mencoba merampok, gagal, masuk ke dalam cairan kimia, menjadi gila. Semua terjadi hanya dalam sepersekian detik, dalam sebuah hari yang buruk. Sebuah kejadian kecil yang sebentar, tapi mengubah hidup banyak orang. Heath Ledger memutuskan untuk mati. Konon, salah satu pemicunya adalah ketika ia menyendiri di sebuah kamar hotel selama berbulan-bulan untuk mendalami karakter Joker.
Dari gambaran itu, hanya dibutuhkan sebuah kejadian kecil saja untuk mengubah hidup seseorang. Dan tentunya, itu akan mempengaruhi orang di sekitarnya. Mungkin jarang kita pikirkan, bagaimana manusia saling mempengaruhi satu sama lain. Bagaimana manusia saling berkaitan satu sama lainnya. Bagaimana manusia adalah individu dalam sebuah sistem yang bergerak bersama-sama. Manusia adalah sebuah geligi bagi manusia lainnya. Satu berubah, semua bisa berubah. Tergantung pada geligi mana mereka bergantung.
Dendi tidak pernah menyangka, bahwa dari sebuah pertemuan yang tidak sengaja, akan bisa mengubah diri dan sekitarnya. Ia tidak pernah berpikir sebelumnya, bahwa sebuah pertemuan adalah titik akhir sekaligus titik awal dari kehidupannya.
“Den, hitung-hitungan yang kemarin sudah beres ?” Kata bosnya. “Sudah tuh Pak, di meja bapak dari tadi pagi, mungkin ketumpuk dokumen lain.” Kata Dendi, ia tidak melihat bosnya. Matanya memandang sebuah artikel koran tentang pembunuhan seorang nenek yang dilakukan oleh cucunya. Motifnya karena si cucu butuh uang untuk membeli narkoba ketika ia sedang sakau. Sebuah kisah tipikal kriminal di Indonesia. Dendi membacanya karena ia tidak tertarik menatap mata bosnya, baginya, berita kriminal yang membosankan lebih menarik daripada menatap mata orang lain.
Dendi, 27 tahun, akuntan muda yang paling dipandang di kantornya. Bekerja pada sebuah akuntan publik yang memuncaki tangga nomor 4 sebagai perusahaan jasa paling top di dunia, ia menjadi kartu as untuk perusahaan jasa itu. Semua orang selalu mengelu-elukan pekerjaannya. Tidak pernah ada data yang miss dari pembukuannya, juga tidak pernah ada perkiraan yang meleset dari prediksinya. Dendi adalah seorang akuntan yang diinginkan dan dibutuhkan oleh semua perusahaan yang ada di dunia. Seandainya ia lahir di Amerika Serikat, mungkin sekarang ia sudah mengurus Bank Dunia. Tapi takdir berkata lain. Mungkin belum waktunya Seorang Dendi mengurus busuknya keuangan dunia.
Dendi tidak pernah tertarik dengan orang lain. Ia bekerja demi uang. Baginya, pendidikan yang ia tempuh tidak ada gunanya apabila ia tidak menghasilkan uang. Dan baginya, orang lain hanyalah penghalang untuknya. Entah mereka rival, musuh, atau teman yang seringkali mengganggu jalan pekerjaannya. Ketika melakukan pembukuan, Dendi selalu menyumpal telinganya dengan noise cancelling headphone. Sambil mendengarkan lagu-lagu blues lawas dari Stevie Ray Vaughn, B. B. King, dan Eric Clapton. Ia selalu seperti ini. Konsentrasinya selalu dapat terkumpul ketika nada-nada blues yang menyayat terlantun di telinganya. Namun baginya, nada itu hanyalah nada yang enak didengar. Nada-nada itu tidak membuatnya sedih, senang, terpacu, atau emosi lainnya yang biasa dialami seseorang ketika mendengarkan musik. Baginya nadanya enak didengar. Itu saja.
“Den… Deeennn… DEEENNNN…!” ujar Riki, teman –kita menyebutnya teman, Dendi menyebutnya ‘orang yang kebetulan satu kantor’- sambil melepas headphone Dendi. “Lu coba denger deh kalau gue ngomong !” “ya Rik, lu liat aja gue lagi pake apa” katanya kalem sambil merebut kembali headphone yang diambil Riki. Ketika Dendi mencoba memakainya lagi, Riki menahannya “eh monyet, tunggu dulu, gue belum selesai ngomong.” Hardik Riki. Kesabarannya sudah habis, Riki juga sebenarnya tidak mau berinteraksi dengan Dendi. “Seperti berbicara dengan alkohol 95%” katanya, ketika ia ditanya oleh bosnya mengapa ia tidak mau berbicara dengan Dendi. Percuma. Yang ada hanya bikin emosi. “Gue disuruh Pak Ramli buat bawa lu ke klien baru kita, lu cepet siap-siap, gue anter lu ke sana. Biar gue yang terjemahin semua kelakuan lu sama klien baru kita.” “ck, kerjaan gue belum beres.” “BODO ! LU MAU SEKARAT JUGA GUE NGGAK PEDULI, NJING !” pekik Riki kepada Dendi yang sudah mulai memakai headphone-nya lagi. Rekan kerja yang lain menengok Riki, Riki membalas tatapan mereka, dan semua berekspresi sama: menggelengkan kepala. Mereka semua tahu, mengajak Dendi keluar kantor ketika ia sedang konsentrasi bekerja sama sulitnya dengan memindahkan Gunung Tangkuban Perahu ke Pulau Sumatera. Nyaris mustahil. Kecuali ada 1000 orang tua dan 10 orang pemuda yang bekerja sama. 10 orang pemuda mudah ditemukan, 1000 orang tualah yang sulit.
Dendi memang tidak bisa akrab dengan sesamanya. Ia tidak terbiasa dengan manusia. Sejak kecil, ia memang dibiasakan dengan angka. Kedua orang tuanya adalah guru besar dari sebuah universitas negeri terkenal. Ibunya adalah profesor di bidang statistik, sedangkah ayahnya adalah profesor di bidang matematika. Maka bukanlah hal yang aneh apabila Dendi menjadi seorang yang jenius di bidang akuntansi. Sejak kecil, Dendi diajarkan bahwa manusia adalah kumpulan statistik. Apa yang mereka lakukan akan bisa dengan mudah kita tebak. Semua berdasarkan statistik. Semua berdasarkan apa yang diulang tiap hari, faktor-faktor apa yang mempengaruhi, dan yang paling penting, Dendi bisa menduga-duga faktor apa yang akan berubah selanjutnya. Itulah yang membuat Dendi istimewa. Ia bisa membaca masa depan sebuah statistik. Karena itulah analisis Dendi diinginkan oleh semua perusahaan yang ada di muka bumi. Namun, karena kemampuan itu jugalah ia melupakan manusia. Baginya, manusia terlalu mudah untuk diprediksi, dan apabila ia prediksi –mengurangi energinya untuk berpikir, maka itu akan menjadi kesia-siaan karena ia tidak mendapatkan uang dari prediksi tersebut.
“Pak, ini si Dendi tidak bisa juga saya ajak, bagaimana ya ?” kata Riki kepada telepon yang menempel di kepalanya. Telepon itu menyambung ke ruangan atasannya. Atasan yang menyuruh Riki untuk mengantarkan Dendi kepada klien baru mereka. Atasan yang bernama Pak Ramli tadi. “Oh, ok Pak kalau begitu, nanti si Dendinya saya kasih tahu. Terima ka… eh iya Pak, sama-sama.” Kata Riki sembari memencet tombol merah di teleponnya. “Kenapa Rik ?” Tanya Devi, sesama rekan kerja Riki dan Dendi. Devi selalu ingin tahu apa yang terjadi, dan apa yang akan terjadi kepada Dendi. Tentu, tampan, pintar, kaya raya di usia 27 tahun. Kurang apa untuk bikin penasaran ? “Nggak, itu kata Pak Ramli si Dendi disuruh beresin kerjaannya, udahnya nggak boleh ngerjain yang lain lagi, harus langsung gue tarik” kata Riki sambil memperhatikan gerak-gerik Dendi yang dari tadi sibuk menatap layar laptopnya. “oh gitu, mau aku aja yang bilangin ?” tanya Devi sembari mencari kesempatan untuk mengobrol dengan Dendi. “Gak usah, gue tarik aja langsung.” Kata Riki.
Badut Kelinci Lusuh
“Lu udah makan belum ? Masih keburu nih kalau mau nge-burger dulu” kata Riki kepada Dendi yang duduk di jok sebelahnya. “Gue gak makan burger.” Kata Dendi sembari melihat layar telepon genggamnya yang memunculkan artikel berita online tentang perampokan di daerah Bekasi. Perampokan yang sangat terorganisir, ketika pemilik rumah pergi, pembantu yang menjaga rumah diikat dan mulutnya disumpal. Para rampok ini berhasil menggondol isi rumah dengan tenang. Sebuah berita klise lagi dari dunia kriminal Indonesia. Kembali, bagi Dendi, rangkaian kata yang menyusun kejadian yang menyedihkan itu lebih menarik baginya daripada harus berbicara dengan orang lain. “Lu makan apa dong ? Gue ngeburger dulu boleh lah ya, drive through doang sih”, kata Riki agak memaksa. “Gue udah makan. Gak perlu ngeburger dulu, waktu gue terlalu berharga untuk nungguin lu makan burger. Gue laporin ke bos.” Kata Dendi sambil membuka daftar kontak di telepon genggamnya. Hanya ada 4 nama di situ: Pak Ramli, Ayah, Ibu, dan Unknown Number. “Monyet lu Den, ya udah, kita langsung cabut ke tempat klien kalau gitu.”
Dengan emosi, Riki kembali menancapkan gasnya. Ketika sampai di sebuah perempatan, mereka berhenti karena traffic light. “Den, lu tuh kenapa sih ? Susah banget diajak ngomong ?” tanya Riki. Ia penasaran. Baginya, mengendarai mobil dengan Dendi adalah neraka. Ketika Dante berkata bahwa ada Neraka Dingin dan Neraka Panas, maka bagi Riki ada neraka lain: Neraka Sunyi. Neraka di mana ada dua orang pria dewasa di dalam sebuah mobil yang sama, tidak bisa membuat percakapan sama sekali. “ya gue gak mau buang energi aja.” Kata Dendi sambil kembali menatap telepon genggamnya yang kini menampilkan berita tentang seorang anak yang menemukan batu ajaib yang bisa menyembuhkan penyakit apapun. Dari patah tulang hingga kulit sobek yang mengakibatkan pendarahan. “Gak mau buang energi gimana ?” Riki menanyakan kembali. “Gue udah bilang gue gak mau buang energi.” Jawab Dendi. Riki kembali bertanya, namun Dendi tidak menjawab. “Aaaahhh, anjiinggggg, mana macet begini, sebelah gue duduk monyet bisu !” Teriak Riki sambil menghantamkan kepalanya ke setir mobil dan sandaran kepala di belakangnya.
Ketika sudah makin mendekati ujung traffic light, ternyata goyangan Riki tak sengaja menyenggol tangan Dendi dan membuat telepon genggamnya jatuh. Riki meminta maaf, namun Dendi tidak bereaksi sama sekali. Ia mengambil telepon genggam yang casing belakangnya terbuka dan baterainya keluar. Ketika sedang memasangkan kembali casing-nya, mata Dendi tiba-tiba teralih dari telepon genggamnya. Ia melihat sosok yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Sebuah kelinci raksasa berwarna abu-abu yang kumal. Dengan bulu-bulunya yang sudah tidak indah lagi, lengkap dengan skema warna yang menyeramkan –matanya pink, pupilnya berwarna hijau, bagaikan kelinci raksasa yang sedang menghisap ganja. Ia menari dengan senang di pinggir jalan. Beberapa mobil membuka kacanya dan memberi uang kepadanya. Dendi terpukau. Baru pertama kali ia lihat yang seperti itu. Biasanya, ketika ia sedang berkendara dengan orang lain, matanya selalu tertuju kepada ponselnya. Sedangkan ketika berkendara sendiri, matanya hanya melihat ke depan.
Dendi lalu membuka mulutnya. “Rik, apaan itu ?” Tanyanya kepada Riki. Riki ternganga. Mungkin inilah perasaan seorang Jerman tulen ketika mereka mendengar propaganda Hitler tentang keagungan ras mereka melalui Joseph Goebbels. “DENDI NANYA SAMA GUE” begitu teriak Riki dalam hati. Ia sebenarnya tidak suka dengan Dendi, namun ketika Dendi bertanya kepadanya, itu bagaikan mukjizat di siang bolong. Siang bolongnya sudah pas, mukjizatnya nyaris tepat. “Euu.. euuu…” Riki masih terbata-bata, ia kaget dengan pertanyaan Dendi yang sebenarnya sangat sederhana. “Apa, Rik ?” tanya Dendi lagi. “euh, itu Den, itu boneka kelinci, mereka.. emmm, yaaa, ngamen gitu deh, mencoba menghibur orang yang lagi kena macet. Kalo gue sih malah serem” jawab Riki. Ia kaget ia bisa memberi jawaban yang begitu akrab kepada Dendi. “Kenapa mesti dihibur ? Bukannya ditunggu saja mestinya ?” Dendi kembali bertanya.
“iyyyaaa, gimana ya ? Mmmm, yaa kadang ada aja orang yang kasian sama yang pake baju boneka itu, kan panas, berat, mau lah bela-belain joget kayak gitu siang panas gini”
“tapi kan mereka nggak butuh, kenapa mereka bayar ? Gue sih ogah”
“ya lu nggak perlu bayar juga kali. Emang lu nggak pernah liat kayak gituan ?”
“nggak pernah.”
“LU KAN SERING NYETIR NYET ? ITU ADA DI TIAP PEREMPATAN”
“nggak pernah lihat.”
“euuh…”
Dendi lalu tiba-tiba membuka pintunya, ia keluar lalu berlari ke arah boneka kelinci tersebut. Riki yang kebingungan kaget ketika melihat lampu sudah hijau, dan ia sudah diklakson oleh orang-orang di belakangnya. “ADUH ANJEEENGGGG DENDI MONYEETTT !!!” Pintu mobilnya belum tertutup. Untungnya ada pengendara motor yang cukup baik untuk menutupkan pintunya, ia menutup pintu mobil yang dibawa Riki sambil berteriak “TEMENNYA ANTIK PAK !” Riki lalu melaju, dan mencari tempat di mana ia bisa memarkirkan mobilnya. Ia lalu parkir di minimarket tidak jauh dari traffic light tadi. Ia terdiam. “Dendi. Kalau gue bukan manusia yang masih peduli sama pekerjaan gue –iya, gue nggak peduli sama lu, udah gue tinggalin. Tapi Lu adalah kesayangan bos, lu ilang, kerjaan gue ikut ilang” umpat Riki. Riki lalu turun dan mengunci mobilnya. Ia menyempatkan diri membeli 2 botol air mineral untuk dirinya dan Dendi.
Ia lalu berjalan ke arah traffic light di mana Dendi turun. Ia yakin, Dendi sedang menghampiri badut kelinci tadi. Tak lama, ia menemukan Dendi yang sedang duduk di bawah pohon di pinggir jalan bersama badut kelinci tadi. Kepalanya dilepas, dan sekarang ada di pangkuan si badut sendiri. Mereka berbincang, Dendi melihat kostum itu dari atas ke bawah, dengan segala kekagumannya.
“Pak, maaf ini temen saya agak-agak gesrek, kalau aneh-aneh mohon dimaafin” kata Riki meminta maaf
“Oooh, nggak Dek, temennya baik ini, Cuma tanya-tanya aja sama saya” ujar si bapak badut kelinci dalam logat Jawa yang kental.
“Den, lu kenapa deh ah ?” tanya Riki
“Gue penasaran Rik, kenapa bapak ini mau bela-belain jadi badut sampai segitunya” kata Dendi
“yaa kalau ndak begini, anak-anak saya mau makan apa nanti Dek” jawab si bapak kalem sambil menyeka keringatnya dengan handuk good morning yang sudah sangat kumal.
Dendi terdiam. “Den, ayo ih itu klien udah nungguin dari tadi” kata Riki sambil melemparkan air mineral botol ke arah Dendi. Dendi diam, sehingga air itu mengenai kepalanya. Walaupun begitu, ia tetap diam. “DEN BURU AHHH NYET !” Riki mulai kembali berteriak. “I… iya…” kata Dendi. Ia lalu merogoh sakunya. Ia mengambil sebuah telepon genggam lagi. Kali ini telepon genggam model lama. Model yang sekali diisi baterainya bisa dipakai selama seminggu.
“Pak, ini buat bapak, nanti saya telepon ya Pak.” Ujar Dendi sambil memberikan telepon genggamnya ke si badut.
“Waduh Dek, saya ndak bisa pakai itu” tolak si bapak
“ya Pak, pokoknya nanti kalau ada bunyi, pencet tombol hijau ini saja Pak, nanti saya bisa bicara sama bapak. Saya ingin ngobrol sama bapak.” Kata Dendi memaksa
“Ya sudah Dek, saya anggap ini Adek titipkan ke saya saja ya.” Jawab si bapak
“Iya.. Pak terserah bapak, yang penting saya bisa telepon bapak” kata Dendi.
“BURUAN WOY !” Kata Riki. Dendi lalu berlari ke arah Riki, dan mereka sama-sama masuk ke dalam mobil. Pak Badut pun memasukkan telepon yang Dendi berikan kepadanya, lalu memakai kepalanya kembali, dan mulai mengamen kembali di pinggir jalan.
Monyet Yang Muncul di Malam Hari
Pada diri manusia –yang katanya- modern, mereka tidak peduli dengan apa itu yang namanya rumah. Rumah bukanlah tempat kembali. Rumah bukanlah tempat untuk bersenda gurau dengan keluarga, melepas lelah, makan makanan rumahan, bertengkar dengan saudara lalu bermaafan, bermain tanah dan selang air di halaman belakang, atau bermain sepak bola dengan tetangga. Bagi manusia modern, rumah hanyalah tempat singgah untuk rehat sejenak, memberi jeda dari hari ini untuk hari esok. Rumah hanyalah tempat untuk berbaring di permukaan yang empuk, memejamkan mata, untuk kemudian membuka mata, dan menjalani esok hari yang begitu-begitu lagi. Begitulah rumah bagi manusia modern. Begitu juga rumah bagi Dendi. Karena itulah, ia tidak mau ambil pusing membeli rumah dengan harga milyaran –yang sebenarnya masih terjangkau buatnya. Ia lebih memilih apartemen.
Apartemen Dendi adalah apartemen mewah namun hanya memiliki satu kamar –sebenarnya ada 2, namun kamar satu lagi sengaja dinonfungsionalkan oleh Dendi yang tidak memiliki hobi maupun teman. Di kamar itu ada kompor untuk memasak, televisi yang sudah lama tidak dinyalakan, sofa untuk satu orang, serta meja kopi yang lengkap dengan kertas dan koran yang berserakan di atasnya. Dendi mengerjakan pekerjaan yang bisa dibawa ke rumah di meja itu. Koran dapat membantunya meluangkan ruang di otak untuk berpikir. Baginya, membaca koran adalah refreshing. Membaca itu menyenangkan. Karena baginya, membaca penderitaan orang di koran tidak perlu ia rasakan. Ia membacanya begitu saja. Tidak ada beban sama sekali untuknya. “untuk apa, toh tidak kenal ?” begitu pikirnya.
Namun malam itu, Dendi tidak bisa memejamkan matanya. Sambil membaringkan tubuhnya yang sudah lelah –walaupun ia tidak peduli lelah itu apa, matanya terus terfokus pada satu nama di telepon genggamnya. Unknown Number. Di kamar apartemennya yang sepi, ia termenung sendiri. Memikirkan bapak badut kelinci. Untuk pertama kali dalam seumur hidupnya, Dendi memikirkan orang lain. Biasanya, yang ada di otaknya hanyalah angka, angka dan angka. Baginya, angka adalah pemecah misteri untuk masa depan, satu-satunya hal yang penting untuk dipikirkan. Ia ingin menekan tombol “call” di sebelah unknown number itu. Tapi entah kenapa sesuatu menahannya. Ia hanya bisa termenung, dan membayangkan pembicaraan apa yang akan ia bicarakan dengan Bapak Badut Kelinci.
Tak lama, ia mendengar sebuah ketukan di jendela luar kamarnya. Dendi kaget. Ketukan di jendela luar kamar apartemennya adalah suatu hal yang tidak mungkin terjadi. Kamarnya berada di lantai 16. Jika ada yang mengetuk di luar, hanya ada 2 kemungkinan: tukang pembersih jendela –yang tidak mungkin muncul di malam hari, atau lainnya –yang pasti, bukan manusia. Itu membuat Dendi tertarik. Ia tidak tertarik pada manusia, tapi ia tertarik pada apapun yang bukan manusia yang bisa berinteraksi dua arah dengannya. Ia lalu berlari ke kaca jendela di mana suara itu berasal.
“Tok, tok, tok…”
“Eh, siapa itu ?” tanya Dendi
“Pak Dendi ? Coba bisa tolong buka jendelanya ?” ada suara yang muncul dari luar. Suaranya parau, terdengar seperti burung Beo yang sedang terkena penyakit flu. Dendi tidak bisa melihat sosok yang mengeluarkan suara parau itu. Tanpa berpikir panjang –jika berpikir panjang pun percuma, dari awal Dendi sudah berkesimpulan bahwa ini bukanlah suatu hal yang ‘biasa’, ia membuka jendela itu.
“Selamat malam Pak Dendi” ujar sumber suara itu. Seekor monyet putih. Sambil berujar selamat malam, monyet itu mengangkat tangan kanannya, menempelkan di alis kanannya. Persis seperti siswa SMA yang sedang upacara, menghormat bendera, namun lupa membawa topi. “boleh saya masuk Pak ? di luar dingin.” Kata monyet itu kalem.
“iii..yaaa boleh silahkan masuk” Dendi mempersilahkan monyet itu masuk. Ia masih bingung, tapi ia benar-benar penasaran. Ini benar-benar di luar perhitungannya. Ada monyet putih yang masuk ke kamarnya di tengah malam. Biasanya, tengah malam adalah waktunya bulan keluar. Waktu itu tanggal 15, sehingga bulan yang di luar adalah bulan penuh. Tapi Dendi tidak punya waktu untuk melihat bulan itu. Atau mungkin, dia lupa.
Monyet itu terdiam sebentar. Lalu bertanya “saya tidak dipersilahkan duduk nih ?” sambil menggaruk kepalanya dengan tangan kanannya. “oh, iya, duduk di lantai saja ya. Di karpet maksudnya.” Kata Dendi. Kamar apartemen mewah seperti milik Dendi tidak punya lantai, karena semuanya dilapisi karpet. Bukan karpet biasa tentunya, karpet kelas atas. Monyet putih itu pun duduk. Ia menatap mata Dendi dalam-dalam, lalu menghela nafas.
“haaaah…”
“emm, ada apa ya ?” tanya Dendi bingung. Ia duduk bersila di depan si monyet putih.
“yaa, begini Pak, saya disuruh bos saya untuk mendatangi Pak Dendi, katanya Pak Dendi sedang bingung, betul ?”
“yaaa, bingung sih. Tapi kok tahu dari mana ini ? Terus kamu siapa ? Bos kamu siapa ?”
“owalaaahhh ! Ya ampun ! saya belum memperkenalkan diri ya ? Lupa saya” kata monyet itu sambil menepok jidatnya. “kenalkan, nama saya Pradudu, panggil saja Dudu. Saya disuruh bos saya buat menemui Pak Dendi di apartemen Green Garden, kamar 1656.” Kata si monyet putih sambil menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Tangannya kecil. Tentu saja seukuran tangan monyet. Monyet yang ukurannya hanya sekitar 1/5 manusia. Dendi menjabat tangan kecil itu.
“iya benar, saya Dendi. Kalau boleh tahu, ini bos kamu siapa yang suruh ?”
“wah, saya tidak bisa bilang, Pak Dendi. Rahasia perusahaan”
“terus ada perlu apa ke sini ?”
“wah, Pak Dendi belum jawab pertanyaan saya tadi. Katanya Pak Dendi sedang bingung kan, coba sini ceritakan.”
“ya, memang betul saya sedang bingung. Seumur hidup saya tidak pernah bingung. Baru tadi saja. Saya melihat bapak-bapak pakai baju badut yang sudah kumal, terus dia mengamen di pinggir jalan, panas-panasan, kok mau-maunya gitu”
Monyet putih itu diam, lalu ia tiba-tiba berteriak “MAU KAYA ? USAHA !”
Dendi kaget, ia hampir membentur tembok di belakangnya. Tubuhnya reflek terhempas ke belakang. “Hah ?” katanya bingung.
“Begitu biasanya kata motivator-motivator yang suka keliaran di TV kan ?” kata si monyet putih.
“wah.. nggak pernah nonton TV..” Dendi makin bingung.
“ya pokoknya beginilah. Di TV, seringkali banyak orang-orang yang merasa sudah lebih baik daripada orang lain. Memberi nasihat kepada banyak orang. Pikirnya semua orang itu sama ! Mereka berkoar-koar, kalau mau kaya, harus usaha keras ! Begitu katanya !” kata si monyet putih berapi-api.
Dendi mengerutkan dahinya “terus apa hubungannya sama saya dan si bapak ?” Tanya Dendi.
“Pak Dendi sadar tidak, kalau usaha Pak Dendi itu nggak ada apa-apanya sama usahanya Pak Parjo ?”
“Pak Parjo ?”
“Iya, si bapak badut itu namanya Pak Parjo. Pak Suparjo”
“oh. Iya, mungkin sih.”
“Bukan mungkin, tapi memang !”
“Coba, bagaimana ?”
“Pak Parjo itu setiap hari bangun jam 5 subuh, langsung naik kereta ke tengah kota, dengan bawa kostum yang berat dan bau itu, dilirik oleh orang-orang dengan tidak enak di kereta, turun, lalu mulai mengamen sebagai badut. Ia mengamen sampai jam 12 siang, di waktu itu ia istirahat. Kalau dia beruntung, dia bisa beli roti dan susu di minimarket untuk makan siang. Kalau tidak, ya sudah, dia hanya minum air mineral botolan yang ia bawa dari rumah. Penghasilannya tidak akan bersisa jika ia makan nasi siang hari. Anak istrinya akan kelaparan di rumah. Setelah itu, ia kembali mengamen hingga jam 9 malam. Pulang, mengurus istrinya yang sakit-sakitan lalu tidur. Dan kembali bangun jam 5” kata si monyet putih.
“iya, betul, terus ?”
“coba kamu bandingkan kehidupan kamu dengan kehidupan Pak Parjo. Pak Parjo yang tiap hari begitu keras berusaha, hanya bisa menikmati hidup yang segitu-segitunya. Sedangkan kamu ? Kamu yang hanya bangun, mengutak-atik angka, lalu makan enak, dan semua dilakukan di ruangan berpendingin, lalu tidur, lalu bangun kembali untuk mengutak-atik angka, makan enak, lalu tidur dan semua dilakukan di ruangan berpendingin, itu tidak ada apa-apanya dengan usaha Pak Parjo” si monyet putih berujar sambil berapi-api.
“oke Dudu, sekarang saya tanya sama Dudu. Pak Parjo pernah nggak tidak tidur sampai 3 hari karena mengerjakan sesuatu yang bernama skripsi ? Menghitung angka yang tak berujung, demi orang lain. Pingsan sesudahnya karena terlalu banyak minuman berenergi. Divonis dokter nyaris mati karena hal yang sama. Itu yang saya alami untuk sampai di sini. Kamu pikir itu bukan usaha ?” tanya Dendi kesal
Monyet itu tertawa
“ahahaha. Pak Dendi, Pak Dendi itu pintar. Tapi naif ya. Pak Dendi ini lahir di lingkungan yang luar biasa, lingkungan Pak Dendi lah yang memungkinkan Pak Dendi untuk masuk kuliah Pak Dendi dulu. Pak Parjo, kalau lahir di lingkungan seperti Pak Dendi, mungkin sekarang Pak Parjo sudah jadi orang nomor 1 di dunia ! Determinasinya tidak ada yang mengalahkan ! Hanya, hanya saja, Pak Parjo kurang beruntung ! Lagipula saya tahu, bagi Pak Dendi, menghitung itu seperti bernafas, mudah” kata si monyet dengan nada melecehkan. Dendi terdiam. Ia mencoba membuka mulutnya, namun tidak ada suara keluar dari mulutnya.
“okelah, begitu saja tugas saya malam ini. Untuk membuat Pak Dendi terdiam membisu. Hahaha. Saya pamit kalau begitu” kata si monyet sambil melompat keluar jendela. Ia lalu menghilang di tengah malam. Dendi terdiam. Setelah beberapa menit terdiam, memikirkan segala perkataan si monyet. Ia pun berdiri dan menutup jendela. Ia berjalan perlahan ke tempat tidurnya. Kembali membaringkan badannya. Ia pun berpikir hingga tertidur. Ia lupa menelpon si Unknown Number, nomor telepon genggam yang ia berikan kepada Pak Parjo si badut.
Dendi dan Pak Parjo
Dendi terbangun seperti biasa. Pukul 6 pagi. Dalam sekejap pikirannya tertuju pada sebuah kereta listrik yang sedang berjalan ke arah tengah kota. Di dalamnya terdapat seorang bapak tua yang membawa kostum badut besar yang bau. Mata orang-orang sekitar tertuju kepadanya. Karena barang bawaannya besar dan bau. Orang-orang itu tidak tahu dan tidak mau tahu mengapa si Bapak sampai sebegitunya menghadapi hidup.
Dendi mencoba menghubungi unknown number di telepon genggamnya. Di ujungnya, ada seseorang yang menjawab. Pak Parjo. Ternyata ia membawa telepon genggam yang Dendi berikan.
“Halo, Pak Parjo ?” ujar Dendi.
“eh i.. iya, bagaimana ? Ini adek yang kemaren kasih saya hp kan ?” tanya Pak Parjo bingung.
“iya Pak, saya Dendi.”
“ada apa Nak Dendi, saya tunggu teleponnya semalam, tapi tidak muncul-muncul”
“ah iya, maaf Pak Parjo, saya terlalu malam sampai rumah, saya takut kalau saya telepon Pak Parjo sudah tidur” kata Dendi.
“Nak Dendi tahu dari mana nama saya ? Saya rasa saya belum memperkenalkan diri ke Nak Dendi” tanya Pak Parjo bingung.
Dendi tidak mungkin menjawab dari monyet putih yang tiba-tiba mengetuk jendela kamarnya. “yah, tidak pentinglah itu Pak. Yang penting Pak Parjo semangat bekerjanya hari ini ya Pak. Saya mendoakan bapak dari jauh, jika sempat, saya akan menghampiri bapak nanti sore sepulang kerja. Kita makan bareng ya Pak.” Kata Dendi.
“Tidak usah repot-repot Nak Dendi” jawab pak Parjo kalem.
“ah, nggak apa-apa Pak, nanti saya traktir. Sudah ya Pak, saya mau siap-siap ke kantor”
“oh begitu, ya alhamdulillah. Baik Nak Dendi, sampai ketemu nanti.”
Dendi menutup teleponnya, lalu bergegas ke kamar mandi untuk bersiap-siap pergi ke tempat kerjanya. Dalam pikirannya, ide-ide berkecamuk. Tidak selamanya usaha keras ada hasilnya. Orang yang sudah berusaha seperti Pak Parjo, tidak selamanya berhasil. Sedangkan usaha dirinya yang tidak terlalu keras, ia berhasil. Tapi ia lupa mendefinisikan arti berhasil. Dendi hanya tahu berhasil adalah memiliki uang. Membuat orang lain tersenyum dengan memberikan mereka keuntungan, yang ujung-ujungnya uang. Sedangkan bagi Pak Parjo, berhasil adalah membuat anak kecil yang sedang berada di mobil tersenyum, sambil membawa makanan pulang ke rumah untuk anak dan istrinya. Begitulah hidup. Ada keadilan dalam ketidakadilan, juga ketidakadilan dalam keadilan.
Usaha keras Pak Parjo bukanlah tanpa hasil. Ia dihargai oleh Dendi, setidaknya. Mungkin apa yang disampaikan para motivator itu tidak sepenuhnya omong kosong. Pak Parjo memang tidak kaya, tapi Dendi menghargainya. Seorang Dendi yang menganggap manusia lain adalah pengganggu, seorang Dendi yang tidak pernah bisa menghargai keberadaan orang lain. Tapi, apalah artinya untuk Pak Parjo. Hidupnya tetap keras dan berat, istrinya tetap sakit, dan ia tetaplah badut kelinci lusuh yang mengamen di pinggir jalan.
Satu hari. Hanya satu hari yang aneh yang dibutuhkan Dendi untuk memulai membuka pikirannya. Satu hari yang dipenuhi badut kelinci dan monyet putih. Bertemu badut kelinci adalah hal kecil bagi seseorang, namun bagi Dendi, itu adalah hal yang besar. Mulai hari itu, Dendi berniat untuk lebih menghargai orang lain. Tidak semua orang bisa sesukses dirinya, sekeras apapun mereka berusaha. Dendi juga mulai berpikir tentang perbuatannya terhadap teman sekantornya. Dendi selalu berpikir bahwa beban yang dikerjakan oleh temannya sama dengan yang ia kerjakan. Mungkin yang ia kerjakan lebih. Namun ia lupa, bahwa temannya adalah orang biasa. Riki. Riki hanyalah orang biasa yang beruntung bisa berada di kantor yang sama dengan Dendi. Begitu juga Devi. Beban kerja mereka, walaupun sama, kapasitas otak mereka pada dasarnya berbeda. Riki dan Devi tidak akan pernah bisa menyenangkan Pak Ramli sebagaimana Dendi menyenangkan dirinya.